Dari Ja’far al-Khuldi — rahimahullah — yang berkata: Saya mendengar
al-Junaid berkata ketika ditanya tentang fana’, “Apabila fana’ telah
hilang dari sifat-sifatnya, maka akan menemukan baqa’ dengan
kesempurnaannya.”
Ja’far al-Khuldi berkata: Saya pernah mendengar dari
al-Junaid — rahimahullah — yang mengatakan, “Seluruh diri Anda menganggap asing dari sifat-sifat Anda dan menggunakan diri Anda secara keseluruhan.”
al-Junaid — rahimahullah — yang mengatakan, “Seluruh diri Anda menganggap asing dari sifat-sifat Anda dan menggunakan diri Anda secara keseluruhan.”
Ibnu ‘Atha’ berkata, “Barangsiapa tidak bisa fana’ dari melihat dirinya
dengan melihat al-Haq dan tidak bisa fana’ dari al-Haq dengan al-Haq
serta tidak bisa gaib dalam kehadirannya dari kehadiran al-Haq, maka ia
tidak akan bisa menyaksikan al-Haq.”
Asy-Syibli — rahimahullah — berkata, “Barangsiapa fana’ dari al-Haq
dengan al-Haq demi kepentingan al-Haq dengan al-Haq maka ia akan fana’
dari ar-Rububiyyah, apalagi fana’ dari aI-’Ubudiyyah.”
Barangkali Ruwaim — rahimahullah — pernah berkata ketika ditanya tentang
masalah fana’ dan baqa’, “Awal dari ilmu fana’ ialah ketika berpijak
pada hakikat-hakikat baqa’. Ini dengan memprioritaskan Allah daripada
yang lain, dan mencari semua kondisi spiritual yang ada pada dirinya
sehingga Dia merupakan bagiannya, dan hilangnya apa yang selain Allah,
sehingga ibadah mereka dengan sendirinya hilang hanya untuk Allah dan
yang ada hanyalah ibadah mereka karena Allah dan dengan Allah. Adapun
setelah itu tidak akan sanggup dipahami dengan akal dan tidak akan mampu
diucapkan lewat lisan.”
Dan Allah telah berfirman:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Q.s. ar-Rahman: 26).
Dan Allah telah berfirman:
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (Q.s. ar-Rahman: 26).
Maka ciri orang yang fana ialah ketika bagiannya dari dunia dan akhirat
telah hilang karena kekekalan mengingat Allah swt, kemudian hilang pula
bagiannya dari mengingat Allah swt. ketika mengingat Allah swt. Kemudian
ia tidak melihat pada mengingat Allah, sehingga yang ada hanyalah
bagiannya dengan Allah.
Kemudian bagiannya dari Allah juga hilang karena melihat bagiannya, kemudian bagiannya juga hilang karena melihat bagiannya dengan fananya fana’ dan kekekalannya baqa’.
Kemudian bagiannya dari Allah juga hilang karena melihat bagiannya, kemudian bagiannya juga hilang karena melihat bagiannya dengan fananya fana’ dan kekekalannya baqa’.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Abu Ya’qub
an-Nahrajuri ditanya tentangfana’ dan baqa’ yang benar, maka ia
menjawab, “Fana’ yaitu tidak melihat tindakan seorang hamba terhadap
Allah Azza wajalla. Sedangkan baqa’ adalah tetap melihat tindakan Allah
swt. dalam koridor penghambaan.”
Abu Ya’qub — rahimahullah — juga pernah ditanya tentang ilmu fana’ dan
baqa’ yang benar, lalu ia menjawab, “Tak selalu dibarengi dengan
penghambaan dalam fana’ dan baqa’, dan menggunakan ilmu ridha. Dan
barang siapa tidak dibarengi dengan penghambaan dalam fana’ dan baqa’
maka ia adalah orang yang sekadar mengaku.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata, “Fana’ dan baqa’
adalah dua istilah, dimana keduanya merupakan sifat bagi seorang hamba
menauhidkan Allah. Dimana ia hendak melangkah kejenjang yang lebih
tinggi, dan tingkatan Tauhid umum menuju tingkatan khusus.
Sedangkan makna fana’ dan baqa’ pada tingkat awal ialah fana’ (hilang) nya kebodohan dengan baqa’ (tetap) nya ilmu, hilangnya maksiat dengan tetapnya ketaatan, hilangnya kelalaian dengan tetapnya mengingat Allah, hilangnya melihat gerak-gerik hamba dengan tetapnya pertolongan Allah swt. dalam ilmu yang telah ditentukan lebih dahulu.”
Sedangkan makna fana’ dan baqa’ pada tingkat awal ialah fana’ (hilang) nya kebodohan dengan baqa’ (tetap) nya ilmu, hilangnya maksiat dengan tetapnya ketaatan, hilangnya kelalaian dengan tetapnya mengingat Allah, hilangnya melihat gerak-gerik hamba dengan tetapnya pertolongan Allah swt. dalam ilmu yang telah ditentukan lebih dahulu.”
Para guru Sufu terdahulu telah membicarakan masalah fana’ dan baqa’.
Misalnya, Samnun — rahimahullah — yang pernah mengatakan, “Seorang hamba ketika dalam kondisi fana’, maka ia dibawa (mahmul). Sedangkan ketika ia dalam keadaan dibawa (haml) maka ia didatangi (maurud). Inilah sifat-sifat yang menunjukkan adannya sifat-sifat yang lain.” Ia mengatakan, “Tingkatan awal dan tahapan-tahapan fana’ adalah al-wujud dan al-musyahadat terhadap baqa’ (kekekalan).”
Misalnya, Samnun — rahimahullah — yang pernah mengatakan, “Seorang hamba ketika dalam kondisi fana’, maka ia dibawa (mahmul). Sedangkan ketika ia dalam keadaan dibawa (haml) maka ia didatangi (maurud). Inilah sifat-sifat yang menunjukkan adannya sifat-sifat yang lain.” Ia mengatakan, “Tingkatan awal dan tahapan-tahapan fana’ adalah al-wujud dan al-musyahadat terhadap baqa’ (kekekalan).”
Abu Said al-Kharraz — rahimahullah — mengemukakan tentang makna firman Allah:
“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu dari Allah.” (Q.s. an-Nahl: 53).
“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu dari Allah.” (Q.s. an-Nahl: 53).
Maksudnya, Allah menghilangkan andil mereka dalam perbuatan yang mereka
lakukan dan perbuatan mereka. Dan inilah awal dan kondisi spiritual
fana’.
Lebih Menarik Lagi: