Ta'aluq atau hubungan/kolerasi Cinta dan Makrifat | Blog Legenda Tauhid

Ta'aluq atau hubungan/kolerasi Cinta dan Makrifat


21.10 |

Allahumma inii as aluka
hubbaka wa hubba man
yuhibbuka
(Ya Allah, aku memohon agar
Engkau karuniakan cinta
kepada-Mu, dan agar aku bisa
mencintai orang-orang yang
mencintai-Mu)
 
Ilahi anta maqshuudi wa
ridhoka mathluubi a’tini
mahabbataka wa ma’rifataka
(Tuhanku, Engkaulah yang
kutuju dan ridho-Mu yang
kuharapkan, beri daku
kecintaan dan makrifat
kepada-Mu)
 
“Nafas Ar-Rahman menjadikan
semesta ini ada, guna
memancarkan cinta dan apa-
apa yang dilihat oleh Pencinta
dalam Diri-Nya. Melalui
penyaksian Yang Lahir, Dia
mengenal Diri-Nya sendiri,”
demikian tulis Syekh Al-Akbar
dalam Futuhat Al-Makiyyah.
Sifat Tuhan kepada alam,
mikro maupun makro, adalah
mencintai, sebab “Aku rindu
untuk dikenal, maka Aku
ciptakan semesta.” Cinta bagi
hampir semua Sufi, adalah
dasar dari penciptaan. Juga
dikatakan oleh beliau bahwa
Islam sepenuhnya adalah
agama cinta, sebagaimana
juga Rasul Muhammad adalah
yang dikasihi Allah—
habibillah. Cinta, kata
Jalaluddin Rumi, adalah
penyembuh bagi kebanggaan
dan kesombongan, dan
seluruh kekurangan diri. Dan
hanya mereka yang berjubah
 
cinta sajalah yang
sepenuhnya tidak
mementingkan diri. Hanya
mereka yang mencintai
sepenuh hati sajalah yang
mampu meniadakan diri
(fana) di dalam Diri Sang
Kekasih (Allah).
Cinta kepada Allah
(mahabbah) bukan cinta
dalam pengertian
keduniawian, yang masih
melibatkan ego dan keinginan
untuk diri sendiri. Cinta Sufi
adalah dalam rangka
merespons hadis “Aku rindu
untuk dikenal,” yakni seorang
pencinta harus mengenal
Allah sebagaimana Dia
 
mengenal Diri-Nya sebagai
Perbendaharaan Tersembunyi
yang menyimpan segala
Keindahan (jamal), Keagungan
(jalal) dan Kesempurnaan
(kamal). Tetapi, karena hanya
Allah yang mengenal Allah,
maka satu-satunya cara bagi
Sufi adalah “bersatu” dengan
Allah, mem-fana-kan sifat-sifat
buruk dan bahkan kediriannya
dan mengenakan sifat-sifat-
Nya dalam ke-baqa-an, lalu
menyaksikan bahwa segala
sesuatu hanyalah Allah saja.
Dengan cara inilah Sufi bisa
“meminjam” perspektif” Allah
dalam memandang Diri-Nya
sendiri.
 
Jadinya, tanpa cinta,
Perbendaharaan Tersembunyi
akan selamanya tersembunyi.
Tanpa cinta, tiada alam
semesta. Tanpa cinta, tidak
ada “persatuan” dengan
Allah. Tetapi apakah
sesungguhnya cinta
(mahabbah) itu? Cinta
menurut Sufi adalah salah
satu maqam dalam perjalanan
spiritual. Tetapi definisi yang
pasti untuk soal ini amat
sulit, jika tidak bisa dikatakan
mustahil. Syekh Akbar Ibnu
Al-Arabi dengan jelas
mengatakan bahwa cinta tidak
bisa didefinisikan:
 
Di kalangan orang-orang arif
dan yang membicarakannya,
cinta adalah sesuatu hal yang
tidak bisa didefinisikan. Cinta
diketahui oleh orang-orang
yang mengalaminya … tanpa
mengetahui (secara persis)
apa sesungguhnya cinta itu,
dan mereka tidak menyangkal
eksistensi riilnya.
 
Sasaran cinta bagi Sufi adalah
Perbendaharaan Tersembunyi
dari Wujud Ilahi di setiap
benda, sehingga seluruh
dunia adalah pencinta
sekaligus yang dicintai, dan
semuanya akan kembali
kepada-Nya. Cinta ilahi
adalah sumber semua cinta,
sebab Cinta Ilahi ada di
dalam Diri-Nya (Dzat-Nya)
sendiri yang mencintai kita
demi diri kita dan demi Diri-
Nya sendiri. Artinya, di satu
sisi, cinta-Nya kepada kita
demi diri kita adalah lantaran
agar kita bisa mengenal-Nya
dari amal ibadah yang
membawa kita kepada
pemenuhan keinginan-Nya
dan menjauhkan diri kita dari
segala hal yang bertentangan
dengan keinginan-Nya—atau
kita mengenal-Nya melalui
takwa. Di sisi lain, Dia
mencintai kita demi Diri-Nya
sendiri karena “Aku adalah
Perbendaharaan Tersembunyi,
aku rindu (cinta) untuk
dikenal, maka Aku ciptakan
dunia agar Aku bisa dikenal
mereka sehingga mereka
mengenal-Ku.” Jadi, kata
Syekh Akbar Ibnu Al-Arabi,
“Dia menciptakan kita hanya
demi mencintai Diri-Nya
sendiri, agar kita mengenal-
Nya,” yakni mengenal
Keindahan dan Keagungan-
Nya melalui perspektif-Nya
dan, di atas semua, di dalam
Diri-Nya—melalui fana dari
diri kita dan baqa dalam Diri-
Nya.
 
Ini juga berarti dua hal lain
yang relevan, yakni, pertama,
bahwa dalam rangka
mendapatkan perspektif dari
Yang Dicintai, seorang
pencinta harus memenuhi
keinginan dan perintah dari
Yang Dicintai. Inilah ujian
dalam cinta—cinta selalu
membutuhkan pengorbanan
demi yang dicintai. Syariat,
tata hukum ilahi, dalam arti
yang sempit maupun luas,
adalah ketentuan yang harus
dipatuhi. Tanpa mematuhi
perintah, tidak akan ada
persatuan, sebab cinta sejati
tidak boleh mengandung
pembangkangan terhadap
sang Kekasih. Atau dalam
bahasa Sufi, tanpa
(mematuhi) syariat, tidak akan
muncul hakikat (cinta).
Dan kedua, secara batin
seorang pencinta tidak boleh
berpaling kepada sesuatu
selain sang Kekasih atau
segala sesuatu yang membuat
seseorang lupa kepada-Nya.
Karenanya, bahkan
kesenangan dalam beribadah
menjadi sesuatu yang riskan,
sebab bisa membelokkan
pandangan pencinta dari
Sang Kekasih. Seseorang yang
masih memperhatikan
kesenangannya dalam
beribadah berarti dalam
dirinya masih tersimpan
kesenangan pada dirinya
sendiri, masih ada pamrih,
dan karenanya belum
merealisasikan ikrar lillahi
ta’ala. Ini adalah tingkatan
yang sulit, sebab kenikmatan
dalam beribadah adalah
sesuatu yang diperbolehkan
dan diharapkan. Nikmat iman
adalah sesuatu yang dipuji
dan dicari oleh umat Islam.
Tetapi bagi sufi, mengharap-
harap kenikmatan iman dalam
beribadah sama artinya
mengharap sesuatu selain
Diri-Nya, yang berarti pula
masih menyimpan perspektif
dari diri dan, karenanya,
belum sepenuhnya lebur
dalam perspektif ilahi
seutuhnya. Syekh Abdul Qadir
Al-Jailani dalam nasihatnya
mengatakan agar kita
beribadah demi Allah saja,
jangan demi nikmat-Nya. Di
sini terdapat andil nafsu yang
samar dan berbahaya bagi
Sufi.
Syekh Ibnu Atha’illah As-
Sakandari memperingatkan
jebakan nafsu ini.
Menurutnya, andil nafsu
dalam maksiat bisa tampak
jelas, tetapi andil nafsu dalam
ketaatan sangat samar dan
merusak keikhlasan
beribadah. Karena itu
kebanyakan Sufi lebih memilih
situasi yang berat dan sempit
(qabd) karena dalam
kesempitan itu nafsu tidak
punya tempat. Salah satu
nasihatnya yang amat bagus
adalah agar orang memilih
amal yang terasa lebih berat
bagi nafsunya. Dengan cara
ini kita bisa mengetahui apa
hakikat dari nafsu itu, dan
apa bentuk tipu dayanya, baik
tipu dayanya dalam hal
kemaksiatan maupun tipu
dayanya dalam ketakwaan.
Secara bertahap sifat-sifat
jahat dari nafsu ini akan
kelihatan dan jika “musuh” ini
sudah keluar dari
persembunyiannya, akan lebih
mudah bagi kita untuk
menyerangnya. Ketika sifat-
sifat jahat sudah dikalahkan,
maka Allah akan
mengaruniakan sifat-sifat-Nya
kepada kita. Dalam analisis
terakhir, taraf tertinggi adalah
ketika seseorang menyadari
bahwa bahkan keberadaannya
sendiri adalah “dosa yang
amat besar”. Menghilangkan
dosa ini sama artinya
meleburkan diri dalam fana,
lalu baqa, dan akhirnya
memandang keindahan dan
keagungan-Nya. Pada titik ini
cinta ilahi seorang Sufi tidak
akan lagi tergoyahkan.
Maka, murid (yang
menginginkan) menjadi murad
(yang diinginkan), yakni Sufi
menjadi lokus sempurna bagi
Allah untuk melihat Diri-Nya
sendiri. Dengan cara yang
sama, yang mengingat
menjadi yang diingat; yang
mengetahui menjadi yang
diketahui. Ini adalah tahap
persatuan, tahap penyaksian
sejati, atau pengetahuan
sejati (makrifat). Jadinya,
hubungan mahabbah dan
makrifat adalah hubungan
yang unik: timbal-balik
sekaligus menyatukan, yang
satu melahirkan yang lain.
 
Di satu sisi, ahli makrifat
mengenal Allah sebagai
Keindahan dan Keagungan,
yang melahirkan mahabbah.
Keindahan yang dikenal
adalah Keindahan Dzat-Nya
dan Keindahan Sifat-Nya dan
Perbuatan-Nya. Karena itu
mereka merasakan keindahan
dalam amal (ihsan), yakni
seperti dikatakan Nabi kepada
Jibril, “Engkau menyembah
Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya; dan jika engkau
tidak melihat-Nya,
bagaimanapun Dia
melihatmu.” Yakni, melihat
setiap kualitas positif dan
indah dari Dzat-Nya yang
termanifestasi dalam setiap
lokus tajalli, mikrokosmos dan
makrokosmos. Syekh Al-Akbar
Ibnu ‘Arabi menulis:
Penyebab cinta adalah
Keindahan (jamal) yang
merupakan milik-Nya, karena
Keindahan dicintai lantaran
dirinya sendiri (keindahan itu
sendiri). “Allah itu Mahaindah
dan Dia mencintai
Keindahan.” Jadi Dia
mencintai Diri-Nya sendiri dan
penyebabnya adalah tindakan
memperindah (ihsan). Tidak
ada tindakan memperindah
kecuali dari Allah dan tidak
ada yang menjadikan indah
kecuali Allah. Jadi ketika aku
mencintai tindakan (amal)
keindahan, aku hanya
mencintai Allah semata,
karena Dialah yang
menciptakan keindahan
(Muhsin); dan ketika aku
mencintai keindahan (itu
sendiri) aku tak mencintai
sesuatu pun selain Allah
karena Dia adalah Yang
Mahaindah (Jamil). Jadi dalam
setiap aspek dihubungkan
hanya kepada Allah.
Di sisi lain, cinta
menyebabkan orang semakin
ingin mengenal yang
dicintainya. Cinta dalam
tingkat tertentu melahirkan
makrifat. Ketika sang pencinta
makin mengenal Yang
Dicintai, terbitlah isyq (rindu
dan cinta membara). Inilah
saat ketika ruh-ruh manusia
yang pada dasarnya suci
kembali ke kondisi
kefitriannya, diselimuti oleh
Keindahan dan Keagungan
Ilahi, dan lebur dalam
Kesempurnaan-Nya yang Serba
Menyatukan (tauhid). Saat ini
terjadi maka Allah akan
mempertontonkan Keindahan-
Nya (Jamal) kepada kesadaran
terdalam sang Sufi, yang
menyebabkannya Sufi “jatuh
cinta” di mana seluruh
perhatiannya hanya pada
Yang Dicintai sehingga Dia
tak lagi melihat kepada yang
lain, bahkan kepada dirinya
sendiri.
Sebagian Sufi yang tenggelam
dalam cinta mendalam ini
mengalami guncangan dahsyat
hingga mencapai ekstase,
mengucapkan syatahat yang
menggemparkan: ana al-haqq
(Akulah Kebenaran)!; la ilaha
illa al-isyq (tiada tuhan selain
Cinta); subhani maa adzama
syaani (Mahasuci aku,
alangkah besarnya
keagungan-Ku)!; laisa jubbatin
siwa Allah (Tiada yang ada
dalam jubahku kecuali Allah)!;
anna rabbakum fa’ buduunii
(Akulah Tuhanmu, taatilah
aku). Jadi, ketika “keakuan”
Sufi keluar atau sirna (fana),
maka “Ke-Aku-an” Tuhan yang
abadi akan masuk sehingga
“mengabadikan” sang Sufi
(baqa) bahkan sebelum Sufi
itu meninggalkan dunia,
mereka telah merealisasikan
perintah Nabi, mutu qabla an
tamutu—”matilah engkau
sebelum engkau mati.”
Kematian berarti leburnya
sifat-sifat seseorang dalam
Sifat-sifat Tuhan. Karenanya
ada pepatah Sufi mengatakan
“Tiada kebaikan dalam cinta
tanpa kematian.”
Ketika engkau jatuh cinta,
kata sebagian sufi, engkau
tidak boleh berpaling kepada
selain Kekasih. Sang Kekasih
akan cemburu jika cinta
diduakan. Tuhan tidak akan
memperkenankan apa pun
berbagi dengan-Nya, karena
hal itu adalah syirik. Jadi,
“Tuhan adalah pencemburu,”
kata Wali Allah yang agung,
ratunya para pencinta Tuhan,
Rabi’ah Al-Adawiyah.
Menyembah-Nya demi surga
atau lari dari neraka
menandakan seseorang masih
menduakan Tuhan, demikian
pandangan Rabi’ah Al-
Adawiyah. Dengan kata lain,
orang yang beribadah demi
surga berarti masih
menginginkan sesuatu untuk
dirinya sendiri. Ia masih
mengandaikan dirinya ada.
Padahal, kata Al-Hallaj,
“keberadaanmu adalah dosa
yang tiada bandingannya.”
Dan karenanya dia berdoa
agar “aku” yang
menghalanginya dari “Aku”
dihilangkan oleh-Nya. Ia
berseru dalam sajaknya:
Antara Aku dan Kau ada
sebuah ‘Aku’ yang menyiksaku.
Ambillah, demi Aku‑Mu
Sendiri, milikku diantara kita.
Bunuhlah aku, o sahabat-
sahabatku yang terpercaya!
Karena dalam kematianku
terdapat kehidupanku.
Imam Al-Ghazali, dalam
kitabnya Ihya Ulumuddin,
mengisahkan cerita yang
mengharukan mengenai
“kematian” ini. Suatu ketika
Nabi Ibrahim dipanggil oleh
malaikat maut, namun beliau
menolak mengikutinya, karena
beliau tidak bisa mempercayai
bahwa Tuhan akan
membunuh seseorang yang
begitu cinta kepada‑Nya.
Tetapi malaikat mengatakan
kepadanya; adakah orang
mencintai menolak untuk
pergi kepada kekasihnya?
Setelah didengar kata‑kata
itu, dengan rela beliau
menyerahkan nyawanya
kepada malaikat maut.
Seperti dikatakan Schimmel
Pencinta yang sudah belajar
menerima kematian sebagai
jembatan kepada yang
dicintai seharusnya
menyerahkan ‘nyawanya
dengan senyum seperti bunga
mawar’ (Rumi); itulah
 
sebabnya Al‑Hallaj
menari‑nari dengan tangan
terbelenggu ketika dibawa
untuk dihukum mati. Kaum
Sufi yakin akan firman Tuhan:
Jangan sebut mati mereka
yang terbunuh karena Tuhan;
tidak, sesungguhnya mereka
hidup (QS. 3:163). Kata la
dalam bagian pertama
syahadat yang diumpamakan
pedang itulah yang
membunuh sang pencinta;
kemudian tak ada yang
tinggal kecuali Tuhan.
Sulthan Al-Muhibbin Maulana
Jalaluddin Rumi
menggambarkan keadaan
cinta yang menyatukan
dengan cara lain yang tak
kalah eloknya:
Seseorang mengetuk pintu
kekasihnya;
sang kekasih bertanya,
“siapakah itu?”
Ia menjawab “aku”.
“Pergilah,” kata kekasihnya.
“Engkau terlalu cepat! Di
mejaku tidak ada tempat
untuk yang mentah.
Bagaimana yang mentah akan
masak kecuali dalam api
ketidakhadiran?”
Ia pun pergi dengan sedih,
dan api perpisahan
membakarnya sampai habis.
Lalu ia kembali dan mondar-
mandir di depan pintu sang
kekasih.
Ia mengetuk pintu dengan
memendam seratus
kecemasan dan harapan, agar
jangan ada ucapan kasar dari
bibir sang kekasih.
“Siapa itu?” tanya sang
kekasih. Ia menjawab,
“Engkau, wahai pemikat segala
hati.”
“Masuklah,” kata sang kekasih,
“karena engkau adalah aku,
masuklah. Tidak ada tempat
untuk dua ‘aku’ di rumah ini.”
Syekh Sulthan al-Awliya Abu
Hasan as-Syadzili mengatakan,
“Sempurnalah kewalian orang
yang mencintai Allah dan
mencintai untuk Allah.” Syekh
Qamaruzzaman al-Husaini
pernah mengatakan kepada
penulis bahwa beliau
mencapai kedudukannya
hanya karena mahabbah,
Cinta Ilahi, sehingga beliau
bahkan tak bisa berhenti
berzikir, sebab sedetik saja
beliau berhenti berzikir,
nafasnya akan sesak.
Seseorang yang mencintai
Allah hingga ke titik tertinggi
akan bisa “bercakap” langsung
dengan Allah azza wa jalla,
tanpa huruf dan tanpa kata.
Menurut Syekh Athaillah, ada
empat tingkatan cinta: cinta
untuk Allah, cinta karena
Allah, cinta dengan Allah dan
cinta dari Allah. Awalnya
adalah cinta untuk Allah dan
akhirnya cinta dari Allah –
murid (yang menginginkan)
menjadi murad (yang
diinginkan, seperti telah
dijelaskan di atas dan di bab
lain buku ini). Syekh Athaillah
selanjutnya menjelaskan
dalam Lathaif al-Minan:
Cinta untuk Allah adalah
mengutamakan Allah
ketimbang selain-Nya. Cinta
karena Allah adalah mencintai
Wali Allah karena Allah. Cinta
dengan Allah adalah
mencintai orang atau sesuatu
tanpa hawa nafsu. Dan cinta
dari Allah adalah Dia
menarikmu dari segala
sesuatu sehingga hanya Dia
yang kau cintai ... [Syekh Abu
 
Hasan menyatakan bahwa
cinta adalah Allah menarik
hamba-Nya dari segala
sesuatu selain Dia. Ia akan
selalu taat, akalnya dilindungi
ma’rifat, ruhnya terserap ke
dalam hadirat-Nya, dan sirr-
Nya sibuk menyaksikan-Nya ...
Ia mendapatkan segala
hakikat dan pengetahuan, dan
karenanya “Para Wali Allah
adalah pengantin Allah.”
Dalam cinta sejati tidak ada
“engkau dan aku” karena
menurut hadis Nabi dikatakan
“Seseorang sama dengan yang
dicintainya,” atau juga “orang
yang mencintai selalu
bersama yang dicintainya” (al-
muhibb ma’a man ahabba),
sebagaimana pengantin selalu
bersama. Tiada perpisahan di
sana, hanya ada persatuan
sejati, Tauhid.


Lebih Menarik Lagi:


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar