Harmonisasi Kehidupan Dalam Hidup | Blog Legenda Tauhid

Harmonisasi Kehidupan Dalam Hidup


08.45 |

Setiap kali berbicara tentang sastra, pikiran kita
menerawang kembali ke masa-masa Chairil Anwar ketika menuangkan ide-ide
spektakulernya dalam rangkaian puisi-puisi indah
atau ke masa Merari Siregar ketika menuliskan
penderitaan hidup dalam Si Jamin dan Si Johan-nya atau mungkin yang selainnya.

Begitulah bangunan pemikiran yang sudah tertanam dalam otak pelajar di negeri ini. Sastra adalah puisi, gurindam, balada, novel dan yang sejenisnya.

Namun demikian, akan sangat sempit jika sastra
hanya berkutat pada seputar masalah di atas karena sebenarnya puisi, gurindam dan yang selainnya hanyalah produk dari sastra itu sendiri.

Ada yang lebih luas dan lebih dalam untuk dibicarakan terkait sastra ini, yakni
bagaimana melihat dunia dan mengubah dunia melalui pena.

Sejarah mencatat bahwa berbagai perubahan di dunia ini terjadi ketika pena telah
berbicara melalui tangan-tangan mulia para penyair, pujangga dan orang-orang alim yang ada di masa itu.

Lalu apa kaitannya dengan
sastra?

Secara sederhana, saya Andrias Bukaleng legenda mualaf mengibaratkannya sebagai sebuah sistem dalam mempresentasikan pemikiran orang-orang di
masa itu dalam bahasa
terbaik.

Maka tidak mengherankan ketika ada banyak sekali karya sastra yang tetap masyur atau ternal dari masa ke masa.

Lihatlah bagaimana maha karya yang sangat tua
Ramayana dan Bharatayuda masih menarik untuk dikaji, atau setumpuk roman karya Khalil Gibran yang begitu menginspirasi, karya syekh Ibnu Athailah Al iskandari atau karya- karya lain yang masih banyak jumlahnya dan
tersimpan rapi serta terus digali melalui berbagai
pengkajian.

Hal itu menunjukkan
bagaimana sastra itu dapat mewarnai kehidupan ini dan menawarkan perubahan-perubahan yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Namun demikian, dalam tulisan yang singkat ini
Blog Legenda Tauhid cukup membatasi pada
pembahasan sastra dalam dunia pendidikan.

Lebih khusus lagi, saya ingin mengungkap benang merah
antara sastra dan pendidikan yang selama ini hanya melambai-melambai dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Padahal sastra amatlah luas
dan mampu memberikan ruh baru dalam mengubah generasi Indonesia menjadi generasi yang berperadaban maju dan unggul.

Dunia sastra adalah dunia yang memberikan cara
pandang terindah dalam membaca kebesaran
ayat-ayat kauniah-Nya ( Tersurat, Tersirat, dan Tersusun ) melihat realita dan
menyenandungkan sebuah gerakan perubahan.

Realita pendidikan yang ada saat ini, sastra menjadi sesuatu yang seringkali terpinggirkan.Bahkan seolah-olah sastra hanyalah milik orang- orang linguistik, dalam hal ini adalah guru
bahasa.

Dampaknya adalah sedikit siswa yang tertarik dalam dunia sastra. Jangka panjangnya adalah terbentuknya bangunan pemikiran picik seperti ini yang justru dimulai dari dunia
sekolah, tempat yang seharusnya meningkatkan
kualitas kemanusiaan seseorang. Sampai-sampai banyak guru eksak yang skeptis terhadap sastra dan cenderung suka
mempertentangkan
sebagai penghambat dalam pelajaran-pelajaran
mereka.Demikianlah realita yang ada saat ini.

Adalah tidak penting bagi kita menggerutu atas
kenyataan yang ada.

Yang lebih penting saat ini
adalah bagaimana menunjukkan sastra sebagai
salah satu akselerator perubahan masyarakat
khususnya dalam dunia pendidikan.

Baik dalam mendidik kepribadian sekaligus mendongkrak kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang.

Dan ini telah dibuktikan oleh sastrawan-sastrawan
kita di abad ini yang menurut penulis mampu
membuka ruang geliat bagi dunia sastra untuk
lebih memasyarakat.

Kita ambil contoh Habiburrahman el-Shirazy
yang berhasil mengguncang Indonesia bahkan
dunia ketika berhasil menerbitkan novel Ayat-
Ayat Cintanya sebagai salah satu karya
terpopuler di Indonesia pada abad ini.

Isinya sederhana tetapi ternyata mampu memberikan
pengaruh yang luar biasa bagi perubahan
masyarakat.

Banyak sekali testimoni yang
menunjukkan adanya perubahan positif perilaku
masyarakat pascapeluncuran novel tersebut. Bahkan karya-karya beliau berikutnya begitu dielu-elukan sekaligus dinanti-nantikan.

Contoh lainnya adalah Andrea Hirata. Ekonom
yang tulisan-tulisan ilmiah sering dijadikan
referensi di Eropa ternyata juga mampu
mengguncang masyarakat kita dengan
memotivasi para pemuda dalam menjalani
pendidikan mereka.

Bahkan jika kita membaca
novel Laskar Pelangi-nya, banyak hal yang tak
terpikirkan di otak kita dapat tersaji secara apik
melalui rangkaian deskripsi yang luar biasa dan
memikat.

Kemudian Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov pun tidak kalah serunya. Semua itu menjadi salah satu contoh bagaimana
sastra berbicara untuk membawa angin perubahan bagi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Yang terpenting di sini adalah seharusnya sastra dapat dijadikan sebagai salah satu media atau mungkin sistem pengantar pendidikan di negeri ini yang kehalusan budinya mulai luntur.

Di sadari atau tidak, pelajaran sastra (dalam hal ini
Bahasa Indonesia) terkesan membosankan karena pendekatan yang digunakan kepada peserta didik belum mampu membangkitkan
sense mereka.

Apakah setiap orang dapat
bertahan dengan bacaan-bacaan ilmiah yang bahasanya kaku dan membosankan? Apakah
setiap orang harus memahami matematika
dengan menyusun rumus-rumus paten dan sulit
dihafal secara konvensional?
Apakah setiap orang harus melihat fenomena alam melalui rangkaian teori fisika, kimia dan biologi yang ada
dalam buku-buku karangan orang asing yang jelas beda cara pembahasaan mereka?

Di sinilah ruang bagi sastra untuk memberikan jawaban.
Salah seorang pengajar berdedidkasi bagi pendidikan negeri ini, Munif Chatif, murid
angkatan pertamanya Bobbie de Porter menyampaikan bahwa manusia dikaruniai oleh tuhan kecerdasan majemuk.

Di antara kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik.
Kecerdasan ini boleh jadi merupakan pondasi bagi seseorang untuk mengenal bahasa dan sastra secara lebih kuat meskipun anggapan ini belum tentu benar.

Lebih lanjut, beliau
menyampaikan bahwa pendidikan yang terbaik
adalah pendidikan yang memanusiakan bukan
mengatur dan mendoktrin, yaitu pendidikan yang
memberikan ruang kepada setiap siswa untuk
berkembang meng-upgrade kapasitas mereka
sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Maka segala pendekatan yang dilakukan seorang guru
hendaknya disesuaikan dengan kecenderungan
kecerdasan anak tersebut.

Benang merah dari uraian Munif tersebut adalah
bagaimana sastra dapat menjadi warna dalam
meng-upgrade potensi peserta didik dalam
menguasai pelajaran dan kecakapan hidup.

Dengan sastra, dunia dapat dieksplorasi dengan
cara pandang dan cara berpikir yang indah.

Jika pelangi dapat diungkapkan dalam rangkaian puisi, cerpen atau lagu yang lebih dekat dengan
dunia anak-anak, mengapa harus dipaksakan dengan rumus-rumus yang begitu sulit dan terkesan hiperbolik di mata dan pikiran mereka.

Jika ekosistem dapat dideskripsikan dalam novel
menarik yang panjangnya berjilid-jilid mengapa
mereka harus dipaksa untuk menelan mentah- mentah setiap butir teorinya.

Di sinilah sastra berbicara, membuka dunia dalam
untaian keindahan dan kearifan. Dan masih banyak ruang-ruang yang dapat
dimasuki sastra untuk membuktikan eksistensi
dirinya. Sastra di mata pendidikan adalah
sebuah keindahan.

Sebuah senjata untuk
menembus ruang-ruang pikiran siswa yang
konkrit untuk dibentuk menjadi ruang-ruang
abstrak yang siap melihat, mencerna dan
mempresentasikan kenyataan.

Dengannya perubahan yang diharapkan akan segera terjadi.

Perubahan besar dan mendasar mulai dari pola
pikir dan cara pandangnya. Dengan sastra, dunia
ini terasa indah, hidup ini akan sangat halus,
lembut, dan penuh dengan keharmonisan.


Lebih Menarik Lagi:


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar