1 Ideogenesis
Manusia mempunyai dua macam kemampuan Kognitif (kemampuan mengerti) yang kurang lebih teramati (tidak gaib) dan dapat dirumuskan, yakni indera ke enam dan intelek. Indera merupakan kemampuan organis, artinya indera secara intrensik bergantung pada organ badani tertentu yang didalamnya dan dengannya indera bekerja selanjutnya indera dapat dibagi menjadi Indera ekstern (kelima Indera kita) dan Indera intern (ingatan, Imajinasi dan lain-lain).
Intelek adalah kemampuan inorganis, yakni kemampuan yang bergantung pada suatu organ badani.Indera terdiri atas bermacam-macam jenisnya sedangkan intelek hanya satu.Tetapi kemampuan intelek memiliki fungsi seperti menangkap, membuat konsep, membuat keputusan, melakukan refleksi, mengabstraksi, menyimpulkan dan sebagainya.
Manusia hanya memiliki pengetahuan yang sempurna dengan melalui keputusan, yaitu aksi intelek.Kegiatan indera hanyalah menangkap (dalam arti mengalami) tanpa membuat keputusan.Indera (sebagaimana juga intelek yang bukan tabula rasa merupakan kesadaran aktif, maka juga bekerja sesuai dengan lingkaran interpretasi yang kita kenal) mengumpulkan bahan mentah untk intelek guna kemudian digunakan oleh intelek menjadi keputusan.
Antara pengetahuan inderani dan pengetahuan intelektual terdapat perbedaan hakikat.Pengetahuan inderani menangkap kenyataan (ada khusus) secara materialiter, berdasarkan aspek konkrit dan materialnya, sedangkan intelek menjangkau kenyataan secara formal, formaliter.Dalam bentuk pengetahuan inderani yang kita miliki adalah gambaran-gambaran inderani, jadi jasmani sifatnya (maka hanya dapat dipakai untuk menunjukan satu realitas).Sedangkan dalam bentuk pengetahuan intelektual, kita menggunakan konsep atau ide yang umum dan abstrak (maka dapat dipakai untuk menunjuk banyak realitas). Tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa tidak ada hubungan dengan pengetahuan inderani. Konsep atau ide yang umum dan abstrak menyatakan realitas yang banyak itu, yang dialami pengetahuan inderani.
Agar terdapat pengetahuan Inderani, dibutuhkan adanya benda material yang ‘mengaktivasi’ indera, meresap hingga menyentuh kemampuan mengerti.Hanya jika dan sejauh suatu benda bersentuhan dengan indera maka benda tersebut dapat dimengerti.Kemampuan mengerti indera yang bukan sekedar kemampuan material, tetapi merupakan kesatuan prinsip material dan ketentuan-ketentuan psikis, mengalami suatu ‘kesan’ berkat kontaknya tadi.Disini hendaknya orang waspada bahwa ‘kesan’ tersebut bukanlah isi pengetahuan, bukan juga gambaran objek pengetahuan, tetapi sekedar skematisasi kenyataan individual hasil dialog.Berkat ‘kesan’ ini, kemampuan mengerti kita dibuat aktif. Maka muncullah apa yang disebut Simon :Operation precognitive, yakni suatu aktivitas yang mendahului pengetahuan, ‘kesan’ tadi pada hakekatnya masih bersifat materil, jasmani, maka juga belum sanggup mengerakkan intelek yang rohani sifatnya untuk beraktivitas.
Pada manusia harus terdapat kemampuan yang mengolah ‘kesan’ supaya cakap, sanggup diketahui oleh intelek. Kemampuan tersebut bersama Aristoteles akan kita sebut intellectus agens (nous poietikos). Kemampuan ini adalah kemampuan mengabstraksi. Sedang kemampuan tahu manusia, yakni yang biasa kita sebut akal budi (intelek), dinamakan intellectuspossibil (nous pathekikos).
Sekarang ‘kesan’ tersebut, sesudah diangkat dari materi, menjadi cakap, dan secara aktual (In actu) dapat (sangup) diketahui, memasuki level of intelligibility.Berkat aktivitas ini, yang dalam istilah teknis disebut aprehensi sederhana psikologis munculah species intelligibilis impressa.Species intelligibilis impressa tersebut, berkat aktivitas intellectus agens, kini bertindak sebagai pembantu (penggerak,kendeterminant) kemampuan tahu intelektual manusia, yakni intellectus possibilis. Sedangkan proses menyadari species intelligibilis impressa ini disebut aprehensi sederhana logis. Maka muncullah konsep atau ide. Yang membuat kita tahu atau menangkap sesuatu disebut konsep mental, sedangkan apa yang kita tangkap tentang objek yang disodorkan, konsep mental kepada akal budi, disebut konsep objektif.
Dibawah ini akan dibagankan momen-momenyang terjadi dalam pengetahuan indera dan pengetahuan intelektual :
Secara umum, proses pengetahuan mengenal dua momen, yakni moment asensif (momen meningkat) dari taraf indera ini ketarap intelektual, dan momen desensif (momen menurun), yakni kembali menyusun, menghubungkan diri dengan realitas konkret, kenyataan.
Dalam kaitan ini hendaknya diperhatikan bahwa ide atau konsep kita tidak hanya berasal dari abstraksi langsung dari data pengalaman.Pembentukan ide atau konsep juga dapat merupakan hasil dari refleksi, perbandingan, analisis, sintesis, atau keputusan dan pemikiran.
Kecuali itu, dalam pengetahuan intelektual tidaklah betul kalau dikatakan bahwa hanya soal konsep sebab dalam pengetahuan intelektual, orang bicara tentang ada ( realitas ), tetapi yang ditangkapnya melalui ide atau konsep.
2.2 Proses Abstraksi Atau Proses Imaterialisasi
Semua pengetahuan intelektual kita mempunyai objek hal yang abstrak. Jiwa manusia adalah suatu kemampuan rohani, yang dihubungkan oleh kodrat dengan prinsip material dan bergantung pada indra dalam mendapat pengetahuan. Rohani hanya dapat menggunakan hal yang objeknya adalah rohani .semakin rohani semakin dapat di ketahui, semakin bersih dari materi, semakin dapat diketahui dengan baik. Secara umum dapat dikemukakan adanya tiga taraf kebersihannya dari materi, maka terdapat juga tiga tarafabstraksi yang sekaligus membagi pengetahuan manusia kedalam tiga golongan.
1. Tingkat abstraksi fisik :
Kita menangkap benda-benda dari dunia yang kita alami dan di sodorkan kepada pengetahuan indra kita.
2. Tingkat abstraksi matematis :
Konsep ini tidak hanya diangkat dari cirri-ciri individu dan konkret tapi juga diangkat dari cirri-ciri inderani yang disebut kualitas.Yang dipertahankan adalah kuantitasnya dan kemudian dipandang kuantitas ini sejauh dapat diukur.
3. Tingkat absraksi metafisis :
Dalam taraf abstraksi atau immaterialisasi ini, bukan hanya cirri-ciri individual dan konkret serta kualitas-kualitas inderani yang disingkirkan,tetapi juga kuantitas. Konsep-konsep hasil abstraksi ini yang menjadi bahan metafisika.
Dapat disimpulkan beberapa catatan :
- Tentu sajapengetahuan intelektual membutuhkan kondisi-kondisi organis, misalnya, syaraf dan otak. Tetapi hendaknya kita menyadari bahwa kondisi bukanlah sebab.
- Apabila diperhatikan, sifat pengetahuan dari kebanykan orang itu belum benar-benar berupa pengetahuan intelektual sebab tidak jarang sekedar dihafalkan, memori.
2.3 Abstraksi Total Dan Abstraksi Persial
Dalam pembicaraan tentang masalah abstraksi biasa juga dipertanyakan masalah abstraksi total atau universal dan abstraksi parsial atau formal.
Abstraksi total atau abstraksi universal. Dalam kegiatan abstraksi ini kita mengabstraksikan hal yang umum dari benda-benda individual atau benda-benda yang kurang umum. Misalnya jika kita mengabstraksikan hakikat benda-benda yang secara konkret dengan melewatkan atau mengabaikan cara keberadaannya yang konkret individual (manusia-Sokrates), atau mengabstraksikan kategori, tempat benda-benda tadi secara hakiki terbilang, dengan melewatkan atau mengabaikan cara keberadaan benda-benda tersebut yang bersifat spesifik (kedirian-manusia). Berkat kegiatan abstraksi tersebut, kita mengenali suatu keseluruhan yang memuat berbagai benda atau berbagai jenis benda.Tangkapan-tangkapan abstrak kita tersebut mempunyai suatu ciri umum atau universal. Berhubung dengan kenyataan bahwa setiap ilmu menggunakan tangkapan-tangkapan (pengertian-pengertian) yang universal abstrak tersebut, maka abstraksi total atau universal dapat dipandang sebagai dasar ilmu.
Abstraksi parsial atau formal.Dalam abstrak ini, kita hanya mengabstraksikan suatu bagian (pars), suatu ciri tertentu (forma) dari benda-benda individual atau benda-benda universal abstrak tersebut.Misalnya mengabstraksikan kekhasan individual dengan mengabaikan individual yang mempunyai kekhasan tersebut (warna-jeruk), atau mengabstraksikan suatu unsur hakiki kekhasan dengan mengabaikan species dari benda-benda, yang dalamnya hal tersebut merupakan suatu unsur (badan-manusia).Berkat kegiatan abstraksi ini kita mengenali benda-benda dalam bagian-bagiannya, menurut aspek yang berbeda-beda.Melalui hal ini, kita dapat memenuhkan konsep universal abstrak yang asli melalui kebhinnekaan konsep-konsep abstrak, dan sampai pada konsep yang tersusun dari hakikat mereka yang universal abstrak.
Dari pemaparan ini jelaslah bahwa abstraksi parsial atau formal, yang dipakai untuk menghampiri benda-benda dari berbagai segi yang berbeda-beda, dapat dipandang sebagai dasar spesifikasi dari ilmu-ilmuyang masing-masing mempelajari suatu aspek tertentu dari benda-benda sebagai objek formalnya.
Di dalam logika, kedua bentuk abstraksi di atas senantiasa terpakai.Bahkan praktek pemikiran tidak mungkin terjadi tanpa kedua bentuk abstraksi di atas.
2.4 Abstraksi dan Subtansi Realitas
Abstraksi adalah kondisi manusia (maritain, popper). Didalam ilmu jelas bahwa abstraksi merupakan tuntutan mutlak.Tiada ilmu tanpa abstraksi.Bahkan dalam praktis ilmu semakin sesorang tidak sanggup berfikir abstrak semakin sulit baginya menyelengarakan pemikiran ilmiah, lebih-lebih lagi memasuki tingkat abstraksi matematis dan filsafat.
Yang merupakan hasil abstraksi dan hakikatnya merupakan subtansi realita, yakni hal yang tunggal bila mana bentuk atau sifat-sifat sesuatu telah disingkirkan (aristoteles, locke, deskartes). Tanggung jawab pemikirannya tidak hanya konsep-konsep terang dan jelas, tetapi juga selengkap – lengkapnya, sehingga substansinya jelas terbahasakan dalam fikiran, dan ini isinya jelas, distinct dari tambahan-tambahannya.
Agar substansi realitas benar-benar terungkap kedalam konsep secara jitu, manusia yang sempat tahunya progresif harus mengamati dan meneropong benda-benda dari berbagai segi agar dapat memperoleh pengertian yang lengkap tentang inti isinya.
Didalam sejarah pemikiran, socrates dan plato merupakan pemikir-pemikir pertama yang menerapkan cara kerja yang metodis terhadap hal diatas pertama benda-benda secara cermat dibandikan satu terhadap yang lain, kemudian ditentukan persamaan serta perbedaannya. Langkah kedua membaginya secara sistematis.
Diabad kita ini Edmund Husserl (1859-1938) menginstroduksikan suatu metode baru, yakni metode fenomenollogis yang penerapannya secara progresif berlangsung terus secara ketat ilmiah sehingga hakikat sesuatu menjadi terang dan jelas bagi intelek (akal budi) kita.
Metode ini tidak mau puas dan berhenti pada ‘baju-baju’, ‘bungkus-bungkus’ realitas/kenyataan yang berasal dari (semua bentu) tradisi.‘baju-baju’ yang berupa angka, paham, teori-teori dilampaui, ditembus dengan menerapkan berbagai ‘reduksi’.
2.5 Struktur Historikal Pengalaman
Kendati abstaksi melekat pada eksistensi manusia, perlu senantiasa disadari stuktur historikal pengalaman manusia.Manusia tidak berada dalam waktu, tetapi secara ontologism manusia adalah mewaktu, historical (geschichatlich).Manusia de facto tidak dapat ada tanpa menjadi bagian dan sejarah.Maka pengalaman manusia tidak berpatah-patah dalam moment-moment ‘masa kini’, melainkan berstruktur historical.
Masalah historitalitas umumnya juga tidak dimengerti lagi karena meluasnya pengertian yang salah tentang waktu dan sejarah.Communis opinion mengartikan waktu sebagai suatu konsepsi matematis, dilambangkan dengan huruf t (time scientific time), diukur dengan jam dan kronometer.Berhubung alat-alat ukur tersebut berupa benda-benda yang berada dalam ruang, maka waktu digambarkan suatu medium homogen yang merentang dan terdiri dari satuan-satuan pembakuan, misalnya tahun, jam, menit, detik. Sedangkan tentang sejarah, sering kali orang mengartikan sebagai “hal yang sudah lewat”, ‘sudah selesai’, ‘masa lalu’, vergangenhaid.
Pengalaman kita memang terjadi kini.Tetapi ‘kini’ tersebut mencakup masa lalu yang tidak terbatas dan masa datang yang terbuka lebar. Setiap ‘kini’ mengenggam yang sudah melalui dan sekaligus menunjukan masa depan yang masih akan datang. Dalam bahasa husserl setiap saat beretensi (atau be-raktifitasi) dan berprotensi, yakni mengenggam masa lalu dan menjangkau masa datang. Retensi tidaklah mengingat ingat yang sudah silam dan kini tiada, tetapi juga menjukan keterarahan yang dulu itu menunjukan keterarahan ini, was gewesen ist (haidegger). Masa lalu hadir kemasa kini.Secara prinsif, masa lalu berkaitan erat dengan masa kini.Demikian pula halnya dengan masa datang. Keterarahan kini menuju keterarahan yang akan datang tidaklah merupakan sesuatu yang berada diluar yang kini. Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang.Pengalaman menunjukan bahwa masa datang, sebagaimana masa lalu, secara actual hadir dimasa kini.Masa lalu dan masa datang tersebut secara nyata ikut menentukan yang kini dikerjakan.Demikianlah sesungguhnya masa lalu dan masa datang bukanlah data yang dapat diobjektifikasi dimasa kini.
Secara ringkas dapat digariskan bahwa historikalitas :
- Bukan gabungan atau rentetan masa lalu, masa kini dan masa datang
- Bukan hasil kesadaran akan masa lalu yang begitu saja telah melalui, suka tidak suka pantang kembali.
- Bukan kesadaran yang adanya mutlak dan manusia merupakan ada yang tidak selalu ada jadi dapat tiada.
- Bukan hasil kesadaran akan kenyataan yang serba mengalir, fana.
- Bukan akibat hukum evolusi. Tetapi historikalitas adalah :
ü Hakikat manusia yang menjunjukan kenyataaan bahwa manusia tidak dapat direduksi menjadi atau disamakan dengan benda alami, maka,
ü Pengalamanya juga tidak statis, melainkan merupakan suatu perjumpaan, suatu dialogi yang tidak habis-habisnya dengan suatu dunia yang nampak pada kita sebagai
ü Suatu cakrawala yang membuka perspektif-perpektif yang tidak terbatas jumlahnya, dan hal ini pula yang memungkinkan terjadinya intersubjektifitas dari berbagai kesadaran yang berbeda-beda
ü Menunjuk kenyataan bahwa persepsi tidak pernah dapat disederhanakan menjadi kehadiran secara sadar pada bermacam ragam hal yang menjadi kesan inderani yang saling tidak berhubungan, karena yang riel senantiasa mengartikan yang lain, saling menjelaskan.
ü Secara fundamental menunjukan kenyataan bahwa kebenaran secara ontologism, bagaimana pun juga, adalah suatu peristiwa (geschehen), maka kebenaran suatu proses, terbatas, tidak lengkap, dan sementara, maka juga tidak pernah dapat defenitif, tidak pernah merupakan kata akhir. Kebenaran yang lebih benar selalu mungkin terungkap terus.
Lebih Menarik Lagi: