KAWAN saya sempat bersungut-sungut
saat tahu parkir di warung kopi ini
sekarang berbayar. Kabarnya, tempo
hari ada kepala polisi setempat yang
mampir sekadar untuk bilang kalau
parkir berantakan.
Tak lama berselang hari, seorang paro
baya dengan rompi biru khas
bertuliskan juru parkir mengklaim
sebagai "penguasa" parkir. Berdalih
ingin merapikan. Bermodal peluit, tanpa
karcis yang jelas.
Kalau ada sepeda motor datang, dia
menyemprit. Peluit seharga tak lebih
dari Rp 2.000 itu seperti ngomong
"Jangan lupa, nanti kalau pulang cari
saya. Bayar pajak parkirnya pada
saya,". Demikian, kira-kira peluit yang
juga berbunyi saat kami akan beranjak
pergi. Seperti berkata, "Hei, bayar dulu
ya. Kan tadi pas mau parkir sudah saya
ingatkan,"
Tapi toh, seruwet apapun perpajakan
parkir liar ini tak membuat kami surut
mengopi.
Di warung kopi, kami
melupakan semua kepenatan. Kami
menggigit langit, menengadahkan cita-
cita yang tak pernah kami pedulikan
apakah akan tercapai atau tidak.
Omong kosong. Tak usah membuat
susah hidup dengan keinginan yang
sulit dicapai, teman.
"Sekarang parkirnya seribu. Sebulan
dua bulan lagi pasti dua ribu. Kalah
parkir di mall," kata seorang kawan
lantas menyulut rokok. Dia, aku, dan
tiga kawan lain, masing-masing
menghadapi kopi segelas kecil seharga
Rp 2.500.
Kopi kental hitam pekat dan
berampas. Pahitnya pas sehingga
mengesankan kalau gula hanya
aksesoris. Berapa takaran sendok dan
gulanya, kami tak mau ambil pusing.
Mungkin diaduk selama satu kali
bacaan alfatihah atau ayat kursi, kami
tak mau perhatikan sangat.
Tapi kami pernah membahasnya,
membahas sekenanya: iseng.
"Sesendok gula dan sesendok kopi
dengan air secukupnya. Diaduk 33 kali
seperti jumlah biji tasbih," tuding salah
satu teman.
"Satu setengah sendok
kecil kopi dan sesendok kecil gula
ditambah sejumput, sejumput sekali,
garam. Buat syarat, seperti kata dukun-
dukun asal tapal kuda. Diaduk sambil
membaca ya rozak ya rozak ya rozak
21 kali," ungkap kawan yang doyan
klenik.
Kami hanya ingin bercengkerama
dengan beragam cerita yang kadang
tidak ada maksud dan tujuannya.
Jauh dari semangat penelitian dosen-dosen.
Jauh dari ucapan-ucapan indah
sastrawan di buku puisi yang tak bisa
dicerna. Tapi indah.
Dan karena indah
itu, makna dikesampingkan. Tapi kami
tak peduli.
segelas kecil kopi baru habis empat
jam KAMI benar-benar kecanduan warung
kopi. Kecanduan berada di sini.
Di kota
yang menghargai pahlawan selayaknya
nabi. Di kota yang makam dua wali
setanah dengan bekas lokalisasi
prostitusi yang pernah jadi terbesar di
asia tenggara ini.
Nyaris di setiap sudut jalan, ada
warung-warung kopi. Yang ramainya
tak kalah dengan kafe pada gedung
jangkung pusat perbelanjaan.
Sepertinya para pencakar langit itu
tidak peduli pada gerobak atau PKL
kopi yang sewaktu-waktu bisa kena
gusur. Digusur demi keindahan kota.
Demi menjaga perasaan pelanggan mall
yang borjuis agar selalu senang saat
melintas di jalanan.Kami datang jam
sembilan malam.
Setelah kami
menuntaskan pekerjaan kami yang penat. Dan ada pula kawan yang habis
mengerjakan tugas-tugas kuliah-
tepatnya skripsi, yang molornya minta
ampun. Sudah tujuh tahun, sobat, dan
skripsimu masih daftar isi! Betapa
lamban, aduh, tapi aku tidak mau
mengurus urusan itu di warung kopi ini.
Tak usah mengurus urusan yang bisa
membuat kawan-kawan kita sumpek
mendengar topik-topik menohok.
Menyudutkan. Atau apapun istilahnya
itu. Di tempat yang segelas kecil kopi bisa
baru habis setelah tiga atau empat jam
ini, kawan-kawan sesekali membaca
koran. Berita luar negeri, gambar pemandangan negeri seberang yang
elok. Iklan ke luar negeri.
Iklan tamasya
dengan pesawat yang sungguh pun
sudah dipromosikan murah, tetap saja
mahal bagi kami. Bagi kami yang suka
minum kopi sambil nyemil krupuk udang
sebungkus lima ratus ini, angka di koran
itu fantastis.
Tidak, kami memang tidak peduli. Kami
tidak sedang dalam keinginan menjajal
tanah atau negeri orang. Biarkan orang
bermimpi keliling dunia, dan kami hanya
memikirkan bahwa semua kawan harus
diundang saat menikah nanti. Betapa
senangnya bersilaturahmi dalam
suasana yang bahagia itu. "Tolong
kasih undangan ini pada kawan-kawan
kita yang tertulis di sana," ujar salah
satu kawanku yang sudah lama ingin
kawin dan beruntung akhirnya keturutan
juga.
"Masya Allah. Untung kamu lagi mau
menikah. Jadi, aku akan menghargai
perintah ini. Tugasmu ini cukup berat
bagi saya, tapi tak mengapa," sahutku
saat melihat sepuluh undangan yang
dititipkannya padaku. Semua beralamat
luar kota. Bahkan luar provinsi. Satu
lembar untuk kawan yang sudah
merantau ke luar pulau!
Toh, tak bakal semua aku sampaikan
langsung. Paling juga ku-sms saja
mereka semua. Tapi aku pura-pura
mengeluh. Biar kena pisuh. Dan
memang beberapa kawan mengumpat
keluhanku. "Halah, kamu kan cukup
sms aja kalau undangan untuk mereka
ada di tanganmu. Sampaikan kapan
waktu pernikahannya, selesai. Pakai
sok keberatan segala. Tai kucing," kata
salah satu rekan.
Aku sengaja mengeluh. Biar kena pisuh.
Biar suasana di meja kami yang ringkih
ini menjadi lebih hidup. Saat malam
terus beranjak naik dan menyebarkan
kesakralan.
Orang-orang masih sesekali melintas di
jalan besar yang kami hadapi. Yang
nyaris tak berjarak dengan sudut terluar
meja kami. Jalanan masih
mengantarkan orang berpacaran di atas
sepeda motor. Muda-mudi. Atau bujang
lapuk dan perawan tua.
Saat perempuan memeluk mesra sambil
menyandarkan kepala di punggung
lelakinya.
Perempuan yang berkaos
ketat. Dengan celana ketat pula. Yang
bokongnya sedikit terlihat. Yang
rambutnya sedikit pirang. Yang matanya
sedikit tertutup seolah ingin tidur sambil
memeluk lelaki.
Tapi berhubung di
kamar kost-nya, atau di kamar
rumahnya, orang-orang akan memarahi
kalau dia tidur bersama lelaki, akhirnya
dia memilih pura-pura tidur di atas
sepeda motor dengan memeluk lelaki
dari belakang.
Perempuan-perempuan, masih
beberapa yang lalu lalang di jalan
besar. Yang bila ada yang berkulit putih
bertubuh sintal, berwajah yang
kekusamannya tersamarkan gelap
malam dan tersapu warna remang
lampu jalan, salah satu dari kami
mengatakan, "Enaknya kalau malam-
malam begini bisa kencan dengan
perempuan semacam itu," celetuknya.
Dan malam terus menanjak. Kami
berbincang sekenanya sesuai yang kami
inginkan. Tidak peduli untung atau rugi.
Ini soal keinginan, juga kepuasan.
kami tak peduli pada pengkhotbah
SAYA, dan sepertinya juga kami, tak
peduli dengan uraian khotbah pemuka
agama. Yang kadang, di kota ini,
mereka mengkritik soal banyaknya
orang nongkrong di warung kopi.
Menghabiskan waktu berjam-jam
dengan segelas kecil kopi. Betapa
percuma dan menyia-nyiakan umur!
Itulah kata salah satu dari mereka
dengan intonasi geregetan.
Kami justru mempertanyakan
kredibilitas pengkhotbah yang
tampaknya dari tahun ke tahun
tubuhnya semakin subur itu. Semakin
gemuk setelah sering tampil di acara
TV lokal, bahkan nasional. Lha
bagaimana kami-atau mungkin hanya
saya-percaya dengan orang yang
mengatakan pengikut nabi, kalau
secara model badan saja dia tidak
sevisi dengan orang suci.
Sebentar, sebentar, jangan lantas
berpikir bahwa pengikut nabi harus
berwajah, bertinggi badan, atau
berpostur sama dengan nabi. Tapi
paling tidak, nabi tidak gemuk dan
bertambah gemuk seperti dia.
Apalagi buncit!
Ingatkah saat dua sahabat yang mengikatkan batu di perut karena
menahan lapar datang ke rumahnya.
Minta barang sebiji dua biji kurma
karena sudah terlalu kosong perut
mereka. Dan mereka mendapati nabi
tersenyum. Membuka kain penutup
perutnya dan terlihat kalau batu yang
terselip di sana lebih banyak dari batu
yang mereka ganjalkan di perut
mereka?
Ya, soal perut ini sensitif bagi kami jika
dikaitkan dengan agama. Kami pernah
berbincang dan sepakat, selama
pemuka agama memikirkan perut, maka
ucapan mereka tidak bisa dipercaya!
Selama orientasinya wanita, khutbah
mereka adalah sampah! Mendinglah
kami yang tak pernah berdalil ini, biar
bertubuh tambun, biar jelalatan melihat
perempuan.
Apalagi saat dia berkhutbah hari Jumat,
dua puluh menit bermonolog dan pesan
yang disampaikan membosankan.
Selama itu pula banyak jamaah yang
mengantuk. Oh, betapa menyedihkan.
Sementara salah satu saksi yang kami
imani mengatakan, jumlah kalimat
khutbah jumat nabi bisa dihitung, saking
pendeknya!
Jadi, apakah kami lantas harus
terganggu dengan kritikan pengkhutbah
macam itu? Tentu tidak.
Dan kami akan tetap berbicara soal
sepak bola.
Dengan analisis lisan yang
kami pikirkan sekuat tenaga berdasar
referensi seadanya. Dari koran-koran
atau website olahraga. Dan tidak
seperti mereka, para komentator di
televisi yang dibayar, pasti tidak ada
yang sudi membayar ocehan murahan
kami ini. Tapi sekali lagi, kami senang
melakukannya. Ini soal kepuasan.
Misalnya saat seorang teman bilang
bahwa seorang pemain yang dibandrol
mahal tidak maksimal di klub baru.
Tidak seperti saat dia main di tim
papan tengah negeri yang berbeda.
Atraktif dan inspiratif. Lalu teman itu
berbicara tentang persoalan psikologis.
"Pemain berwajah kotak itu terlalu
membawa beban di pundaknya saat
berlari menyusuri lapangan hijau,"
ujarnya.
Ada lagi teman yang mengatakan, salah
satu tim inggris terkaya selalu merekrut
pemain asia. Paling tidak ada satu
pemain asia yang tinggi badannya tidak
sepadan dengan eropa di starting
eleven.
Alasannya tak lain adalah
kapitalisme. "Orang-orang barat adalah
kaum materialis. Semua adalah soal
menambah pasar untuk jual
merchandise di asia dan mengisi
kantong para pemodal," kali ini kawan
lain ngomong soal kapitalisme.
Apapun kami omongkan di meja yang
dikitari meja-meja lain yang sama
kusam ini. Meja-meja yang selagi
malam berlanjut di pertengahan, tak jua
sepi pengunjung. Kadang kami saling
tuding dengan telunjuk atau jari tengah.
Kadang terkekeh atau malah
menancapkan mata pada mata-mata
yang lain dengan serius.
Kami juga menyinggung soal pemain
lokal dari kota ini.
Yang memilih hijrah
ke negeri jiran. Seorang kawan yang
sejak SD sudah gemar menonton bola
di tengah malam mengatakan. Ini
adalah bentuk ketidakpuasan pada
sistem. Betapa tidak, pemain itu
memang merasa diakali soal gaji di klub
lokal.
"Dia sedang berjuang untuk
persepakbolaan kita. Perjuangan itu
tidak hanya dengan teriakan atau
perlawanan. Kadang, perjuangan
dilancarkan melalui pembangkangan,"
ungkap laki-laki yang gagal dalam tes
fisik klub sepak bola lokal karena paru-
parunya terlalu terkontaminasi asap
rokok itu.
Hingga pada pukul 01.00, salah seorang
dari kami berdiri, pamit pulang dan
menjabat tangan kami satu-satu.
"Selamat istirahat kawan, yang ingin
beristirahat seperti saya setelah ini.
Yang ingin tetap di sini, selamat
menikmati suasana warung kopi,"
ujarnya dengan senyum tipis. Rokok
disulutnya seraya melangkahkan kaki
ke sepeda motornya.
Beberapa menit berlalu, ganti aku yang
bangkit. Pamit pulang dan menjabat
tangan mereka satu-satu. "Aku duluan,"
kataku singkat disambut anggukan
mereka yang maknanya seperti magis.
Kulangkahkan kaki ke sepeda motor.
Seorang juru parkir datang. Aku tak
pedulikan dia karena sejurus aku
sedang ingin melihat langit dengan
taburan bintang. Kutarik nafas dalam-
dalam, kulepaskan sambil terbatuk.
Besok, kehidupan berjalan seperti biasa Bersama Dzat Yang Maha Luar Biasa
Lebih Menarik Lagi: