Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak
Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada
866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia
bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia.
Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster
dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya,
seorang penggaru kapas (penggaru adalah
seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan
kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara
Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan
Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada
masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas
bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat
penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah.
Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai
kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti
mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-
Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata
bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta
teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia
merampungkan studinya, tapi merasakan
kebutuhan untuk menginternalisasika n apa yang
telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita
kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi
berani dan independen yang menurut hemat
pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl
adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan
spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-
Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi
Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras
semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat
ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar
untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak
jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali
tidak dijumpai ada laporan ihwal corak
pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl.
Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid
istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima
pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak
berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada
dirinya. Memperhatikan sekilas praktek
kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj
mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj
memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada
dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di
Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang
secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf.
Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling
berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan
belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama
al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui
kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-
Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan
saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan
bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan
politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun
juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman
lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian
dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan
hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta,
melainkan juga membahayakan hubungan guru-
murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang
merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk
mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad
dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang
menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini
berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang
bersama keluarganya dan ia kembali ke kota
kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai
belajar pada Junaid, terutama lewat surat-
menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj
memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan
ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama
hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah
haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa,
melainkan berlangsung selama setahun penuh,
dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari
siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj
melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini
adalah menyucikan hatinya menundukkannya
kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar
dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh
Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji
dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang
berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia
membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi
lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan
mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang
al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj
datang kepada Junaid untuk kedua kalinya
dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum
sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan
untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj
berpandangan harus, sedangkan Junaid
berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah
memperhatikan kehidupan sementara di dunia
ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat
al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya,
Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai
mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah
besar murid. Namun pikiran-pikirannya
bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil,
hubungan merekapun memburuk, dan ayah
mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya.
Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri
dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di
Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan
gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak
bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz
dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-
Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-
Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan
tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya
ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan
hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan.
Pada 899M, ia berangkat mengadakan
pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan
timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan,
dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M.
Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-
guru spiritual dari berbagai macam tradisi di
antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme.
Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai
terminologi yang mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya dalam karya-karyanya
belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia
mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia
berceramah tentang berbagai rahasia alam
semesta dan tentang apa yang terbersit dalam
hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-
Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau
kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru
segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti
seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar
pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim
didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu
takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji
kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai
seorang guru disertai empat ratus pengikutnya.
Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini
berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai
macam karamahnya. Semuanya ini makin
membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai
perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan
perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan
Tustar untuk selamanya dan bermukim di
Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal,
ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka,
Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban
tugas mengislamkan orang-orang Turki dan
orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India
selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam,
dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini
berlangsung selama enam tahun dan semakin
membuatnya terkenal di setiap tempat yang
dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin
bertambah.
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan
ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali,
yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir
dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran.
Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab
ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang
menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang
Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia
mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-
Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini
membangkitkan dalam dirinya keinginan dan
hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada
menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela
dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang
dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi
dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang
Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang
gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di
masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar:
“Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan
aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah
menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku,
bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh
pahala, dan aku akan datang dengan suka rela.
Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya
sendiri) dibunuh.” Kemudian, al-Hallaj berpaling
pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka,
tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami
orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan
dalam kehidupan dan masyarakat mereka.
Lingkungan sosial dan politik waktu itu
menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan
masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak
menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban
yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya.
Sementara itu, yang lain menuntut adanya
pembaruan dan perubahan dalam masyarakat
sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak
sahabat dan musuh di dalam maupun di luar
istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang
kebanyakan adalah murid al-Hallaj,
memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru
selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan,
berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada
masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan
keresahan. Para pendukungnya di kalangan
pemerintahan melindunginya sedemikian rupa
sehingga ia bisa membantu mengadakan
pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai
gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir
secara dramatis.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut
pandangan-pandangan nya tentang agama,
menyebabkan dirinya berada dalam posisi
berseberangan dengan kelas penguasa. Pada
918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara
sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil
mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj
dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama
itu ia terjebak dalam baku sengketa antara
segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan kudeta pun meletus di
Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan
dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai
peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan
yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya,
wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada
di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas
musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati
atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia
dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan
orang banyak dan dihukum di atas tiang
gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong.
Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang
wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah
kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak
dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke
menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin
serta hanyut di sungai itu.
Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan
tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang
yang merindukan capaian rohaninya. Dengan
caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para
pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti
ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih
Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj
Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut
al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru
(khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari
Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang
kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika
jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu.
Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga
dijuluki Hallaj- al-asrar –penggaru segenap
Kalbu– karena ia mampu membaca pikiran orang
dan menjawab berbagai pertanyaan mereka
sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya.
Salah satu orang muridnya menuturkan kisah
berikut ini:
Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya,
al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk
mengasingkan diri bersama beberapa orang
pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj
mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka
telah memakan habis semua bekal yang mereka
bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan
menembus kegelapan malam. Beberapa menit
kemudian, ia kembali sambil membawa makanan
berupa kue-kue hangat yang belum pernah
mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka
untuk makan bersamanya, seorang muridnya,
yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-
Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue
bagiannya, ketika mereka kembali dari
mengasingkan diri sang murid ini mencari
seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu,
seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari
situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari
kotanya, sang murid yang keheranan ini pun
sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara
ajaib. “Tak ada seorang pun dan hanya jin saja
yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh
dalam waktu singkat”! serunya.
Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi
padang pasir bersama sekelompok orang dalam
perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat,
sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia
ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari
udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia
membawa senampan penuh halwa hangat dan
berlapis gula serta memberikannya kepada
mereka, usai memakannya mereka mengatakan
bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di
Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia
memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya
Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada
bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia
diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk
menggerakkan tubuh mereka seperti mereka
menggoyang-goyang pohon kurma, mereka
melakukannya, dan kurma-kurma segar pun
berjatuhan dari lengan baju mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena
keajaibannya, melainkan juga karena
kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia
mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak
mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil
dan mengamalkan praktek apa saja yang paling
sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia
tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan
shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani
secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya
mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal
yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun.
Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan
diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga
bersarang didalamnya –yang salah satunya
berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain,
ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang
melihat kalajengking besar yang mengikutinya.
Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia
menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa
kalajengking itu telah bersahabat dengannya
selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah
sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang
ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-
Nya ia menjalin hubungan sangat khusus
sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah
haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud
dan berdoa, “Wahai Engkau. Pembimbing mereka
yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap
pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang
mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa
aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-
baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di
tempatku, sebab yang demikian itulah satu-
satunya bentuk syukur yang benar.”
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya
sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu.
Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli,
bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang
bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya.
Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai
keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia
menarik sejumlah besar pengikut dan juga
melahirkan musuh yang sama banyaknya,
akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia
mengucapkan kata-kata bid’ah, “Akulah
Kebenaran.” Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk
mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya
menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia!
Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah
hilang, memang benar. Namun Samudra yang
meliputi segala sesuatu tidaklah demikian.”
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj
belajar dibawah bimbingan Junaid, ia
diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang.
Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali
menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan.
Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia
bakal melumuri tiang gantungan dengan
darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar
adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata
al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal
bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab,
“Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya
menafsirkan. ” al-Hallaj di jebloskan ke penjara.
Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para
sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran.
Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua,
bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu
sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali
normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana
engkau pada malam pertama? ia menjawab,
“pada malam pertama aku ada di hadirat Allah.
Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam
kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan
penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di
suruh kembali!”
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa
dengan sekitar tiga ratus narapidana yang
ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu.
ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka
semua, mereka heran karena ia berbicara hanya
tentang kebebasan mereka dan bukan
kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka:
“Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika
kita mau, kita bisa membuka semua belenggu
ini,” kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu
dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para
narapidana pun heran bagaimana mereka bisa
melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia
menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah
tembok itu. “Engkau tidak ikut bersama kami?”
tanya mereka “Tidak, ada sebuah rahasia yang
hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!”
jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya
tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia
menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka
semua.
“Mengapa engkau tidak sekalian pergi?” tanya
mereka “Dia mencela dan menyalahkanku.
Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk
menerima hukuman,” jawabnya
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini,
berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan
kesulitan, karena itu, ia memerintahkan,
“Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik
kembali ucapannya!” Al-Hallaj dicambuk tiga
ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan
mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru,
“Jangan takut, putra Manshur.”
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar,
mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang
algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo
pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam
menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa
didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap
mantap.
Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan
orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan
orang, ia berseru lantang, “Haqq, Haqq, ana al-
Haqq –Kebenaran, kebenaran, Akulah
kebenaran.”
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-
Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj
mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan
mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok,
dan hari sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua
tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya
ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya,
al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti
menanggung derita dan kesengsaraan demi
orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan
dengan sedemikian bangga. “Mengapa engkau
berjalan sedemikian bangga?” tanya orang-orang.
“Aku bangga lantaran aku tengah berjalan
menuju ketempat pejagalanku, ” jawabnya
kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar pembantaian
Inilah balasan buat mereka yang minum anggur
lama
bersama dengan singa
tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka
rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang
bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau
emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan
spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak
tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju
puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya,
“Apa itu tasawuf?” al-Hallaj menjawab bahwa apa
yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan
tasawuf paling rendah. “Adakah yang lebih tinggi
dari ini?” tanya Syibli “Kurasa, engkau tidak akan
mengetahuinya! “, jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan,
setan datang kepadanya dan bertanya, “Engkau
bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa
gerangan engkau menerima rahmat abadi dari
Allah dan aku, kutukan abadi?”
Al-Hallaj menjawab, “Engkau bilang aku dan
melihat dirimu sendiri, sementara aku
menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh
rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri
sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari
kedirian adalah amalan paling baik.”
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj
dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan
bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj
merasa kesakitan. Seseorang bertanya, “Engkau
tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi
lembaran sekuntum bunga justru membuatmu
kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab “Orang-orang yang jahil dan
bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat
Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa
seharusnya ia tidak melakukannya. ”
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-
Hallaj tertawa dan berkata, “Memang mudah
memotong tangan seorang yang terbelenggu.
Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk
memotong tangan segenap sifat yang
memisahkan seseorang dari Allah.” (dengan kata
lain, meninggalkan alam kemajemukan dan
bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras
dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong
kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata,
“Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini,
aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan
di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa
melakukannya! ”
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya
yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan
lengannya berdarah. “Mengapa engkau mengusap
wajahmu dengan darah?” tanya orang-orang. Ia
menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan
darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi
pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah
agar orang jangan menyangka bahwa ia takut
mati.
“Mengapa,” tanya mereka, “Engkau membasahi
lenganmu dengan darah?” Ia menjawab, “Aku
sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta.
Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan
dengan darah.”
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj.
Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian
menangis dan sebagian lainnya melontarkan
sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya
dipotong. Sang algojo hendak memotong
lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar
untuk mengatakan sesuatu, “Ya Allah, janganlah
engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu
lantaran apa yang mereka lakukan karena
Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka
memotong tanganku karena Engkau semata. Dan
kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun
mereka melakukan karena keagungan-Mu. ”
Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur’an:
“Orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat
bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-
orang beriman berhati-hati karena mereka tahu
bahwa itu adalah benar.”
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang
ada dalam ekstase “Cukuplah sudah satu
kekasih.”
Tubuhnya yang terpotong, yang masih
menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan
berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran
bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo
memenggal kepalanya. Ketika kepalanya
dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal
dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj
menunjukkan betapa berbahagia ia bersama
dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya
berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal
dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke
tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot
menentangnya, memutuskan bahwa bahkan
tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun
masih menimbulkan kesulitan bagi mereka.
Karena itu, mereka pun memerintahkan agar
tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya
berseru, “Akulah Kebenaran.”
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri
dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu
jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan
sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun
terancam tenggelam. Ia memerintahkan
pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk
meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga
ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin
ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai
naik, dan sang pembantu melakukan apa yang
diperintahkannya, permukaan air pun surut, api
padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan
bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di
bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika
fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib
berseru, “Kami berikan salah satu rahasia kami
dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah
hukuman bagi mereka yang mengungkapkan
segenap rahasia kami.”
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia
mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya,
“Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?”
Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu
bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya
berbuat demikian karena Allah semata.
Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya
mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh
sebab itu, mereka menginginkan kematiannya,
kematiannya karena Allah semata. Allah
merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh
berkah dan rahmat dari Allah.