Peta Tasawuf | Blog Legenda Tauhid

Sunday,May 04,2025

Peta Tasawuf


08.44 |

Tasawuf dan sufisme dalam
pengembangan sastra Islam tampak jelas sejak awal perkembangan Islam di berbagai daerah.Bagi seorang sufi sastra bukan hanya sebagai
tujuan, melainkan sebagai sarana untukmengekspresikan perasaan-perasaan yang pada umumnya terfokus pada kecintaan kepada
Tuhan.Tidak terbatas itu saja, sastra bagi sufi juga merupakan media untuk mengekspresikan pikiran,
ide-ide, nasehat atau gagasan dalam bentuk puisi atau cerita penuh hikmah. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika karya-karya sastra tersebut menjadi sumber kajian-kajian ilmiah di berbagai
bidang. Misalnya, William C Chittick mengkaji berbagai kajian filsafat dari karya-karya Ibnu Arabi, seperti theologi , ontologi dan epistimologi .
Sementara itu Sachio Murata membahas Kosmologi dan Psikologi Rohani. Javad Nurbakhsy secara spesifik mengkaji psikologi sufi,
khususnya berkaitan dengan kesadaran manusia. Di bidang sastra, Abdul Hadi secara komprehensif
menyusun antologi karya-karya para sufi yang memiliki nilai sastra sangat tinggi. Tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi konsep-konsep
psikologi Islam yang terkandung dalam karya-karya sastra para sufi.
Psikologi Islam merupakan sebuah
gerakan pemikiran baru di kalangan psikolog muslim yang
berusaha mengembangkan konsep-konsep psikologi yang berasal dari ajaran agama Islam dan masyarakat muslim. Gerakan ini sebenarnya
telah lama berlangsung, tetapi momentum yang dianggap mengawali secara tersistematis adalah
ketika Malik Badri menerbitkan buku the Dilema of Muslim Psychologist. Buku tersebut mendapat
sambutan yang sangat antusias di kalangan para psikolog muslim di seluruh belahan dunia Islam.
Di Indonesia sendiri geliat psikologi Islam dimulaiwsekitar tahun 1980-an ketika banyak bermunculan
kelompok diskusi, seminar, penulisan artikel dan buku psikologi Islami mulai diterbitkan. Sebagian
dari tokoh-tokoh psikologi yang banyak aktif mengembangkan psikologi Islam di Indonesia
pada fase-awal perkembangannya antara lain Hanna Djumhana Bastaman, Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori . Selanjutnya bermunculan
pemikir-pemikir muda yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini telah terbentuk sebuah organisasi profesional para
psikolog yang berminat di bidang psikologi Islam, yaitu API (Asosiasi Psikologi Islami). Organisasi
ini sudah diakui secara resmi sebagai bagian dari orgnisai psikologi di Indonesia, HIMPSI(Himpunan Psikologi Indonesia).Sumber kajian dalam mengembangkan psikologi
Islam tidak terbatas pada penafsiran Al Qur’an dan Hadist yang mempunyai unsur psikologi,
tetapi juga karya-karya dan pemikiran para ulama, filsof dan termasuk juga para sufi. Tulisan
ini berusaha mengkaji beberapa konsep dalam
psikologi Islam yang berasal dari karya sastra
para sufi. Tidak hanya karya sastra sufi dari
Timur Tengah, termasuk juga para sufi dari
Indonesia. Ada tiga konsep dasar yang akan di
bahas, yaitu konsep psikologi perkembangan,
konsep psikologi kepribadian, dan konsep
psikoterapi.
Konsep Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan salah satu
bidang psikologi yang mengkaji tentang proses
perkembangan manusia dengan menggunakan
prinsip life-span development (perkembangan
dalam rentang kehidupan manusia), yaitu mulai
dari kandungan, masa bayi, anak-anak, remaja,
dewasa dan lansia. Aspek-aspek perkembangan
yang dikaji meliputi dimensi fisiologis, kognitif,
afektif, sosial, moral, bahkan sampai pada
perkembangan spiritual.
Konsep perkembangan dalam psikologi Islam
memiliki konsep yang lebih luas dibandingkan
dengan psikologi modern. Tidak hanya terbatas
pada konsep ketika manusia hidup mulai dalam
kandungan sampai meninggal dunia, tetapi juga
mengkaji proses sebelum manusia ada di dunia
dan setelah mati. Salah satu konsep psikologi
perkembangan Islam yang bisa dikaji adalah dari
puisi Jalaludin Rumi, seorang sufi dan penyair
besar dari Turki. Rumi menulis:
Mula-mula dia muncul dalam alam benda-mati;
Kemudian masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan
dan hidup bertahun-tahun sebagai tetumbuhan,
tak ingat lagi akan
Apa yang telah dia alami, lalu melangkah maju
Ke kehidupan hewan, dan sekali lagi
Tak ingat akan kehidupan tetumbuhan itu.
Kecuali ketika dirinya tergerak senang,
Pada tetumbuhan di musim bunga-binga
berkembang indah.
Seperti bayi-bayi yang mencari puting susu dan
tak tahu mengapa.
Sekali lagi Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana
sebagaimana engkau ketahui
Memindahkannya dari alam hewani
Ke tingkat Manusia; demikianlah dari satu alam
ke alam lainnya dia
Bergerak, ia menjadi pandai,
Cerdik dan bijak, sebagaimana dia kini.
Tak terkenang lagi akan keadaan sebelumnya,
Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan
diubah pula.
Puisi di atas secara tegas menggambarkan
bagaimana pendapat Rumi tentang perkembangan
manusia. Menurut Rumi, manusia pada awalnya
merupakan benda mati yang tidak bernyawa.
Melalui proses perubahan yang terus menerus
manusia berpindah dari kondisi kejiwaan yang
satu ke kondisi yang lain. Ungkapan dalam puisi
di atas dapat diberi makna secara riel apa adanya
maupun makna secara simbolis. Makna secara
riel menunjukkan bahwa manusia awalnya
merupakan benda mati, kemudian berubah dalam
kehidupan tumbuhan, kemudian menuju pada
kehidupan binatang dan akhirnya memasuki
kehidupan manusia. Pemikiran seperti ini bukan
merupakan ide baru. Filsuf dan dokter muslim
ternama, Ibnu Sina, telah berusaha menyatukan
pemikiran filsuf Aristotles dari Yunani yang
menyatakan bahwa ada tiga macam jiwa, yaitu
jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia
Jiwa tumbuhan tampak pada janin yang masih
berada dalam kandungan. Dia adalah tumbuhan
yang sangat tergantung pada kondisi lingkungan
dan tidak dapat bergerak sendiri. Dia dapat
bertahan hidup karena pemberian makanan dari
ibunya. Ketika sudah lahir ke dunia, bayi mulai
belajar bergerak sendiri. Dia mulai mengeksplorasi
dunia sekitarnya. Karena akalnya belum
berkembang, maka dia seperti binatang. Namun
ketika seorang anak mulai berkembang aspek
kognitifnya, maka dia berada dalam alam
manusia, yang berpikir dan memahami lingkungan
sekitarnya.
Kalau dalam psikologi modern proses
perkembangan hanya terbatas pada kondisi
psikologis (jiwa), maka menurut Rumi proses
perkembangan manusia tidak hanya berhenti
sampai di sini saja. Rumi mengatakan bahwa ,
“Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan
diubah pula .” Ini menandakan bahwa proses
transformasi manusia masih akan berkembang
terus. Khususnya dimensi rohani / spiritualitas
manusia. Dalam puisi berikut Jalaludin Rumi
menggambarkan proses transformasi:
Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai
hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan.
Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi
rendah karena kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan,
untuk membumbung
Bersama para Malaikat yang direstui; bahkan dari
tingkat malaikat pun
Aku harus wafat: Segala akan binasa kecuali
Tuhan.
Ketika jiwa malaikatku telah kukorbankan,
Aku akan menjadi sesuatu yang tak pernah
terperikan oleh pikiran.
Oh, biarkanlah aku tiada! Karena Ketiadaan
Membisikkan nada dalam telinga. ”Sesungguhnya
kepada-Nya-lah kita kembali.”
Puisi di atas menegaskan bahwa manusia akan
mengalami transformasi atau memasuki alam
malaikat. Dari sinipun akan mengalami perubahan
lagi menuju ke ketiadaan. Manusia dari tiada
menjadi ada dan menjadi tiada. Proses ini terjadi
melalui fase dan tahapan yang panjang, yang
penuh dengan rintangan. Menurut Mohammad
Shafii, puisi Rumi di atas tidak hanya
menunjukkan adanya proses perkembangan, tetapi
sekaligus merupakan gambaran dari wujud
evolusi manusia di bumi. Dalam konteks psikologi
Barat, pendekatan evolusi juga mulai
dikembangkan seperti yang dibahas oleh Dicky
Hastjaryo . Pendekatan evolusinistik ini sering
disebut sebagai bionomik kognitif, yang
menyatakan bahwa kognisi manusiaseperti
persepsi, memori, bahasa, berfikir itu harus
dipahami dalam konteks evolusi fisik dan sosial
manusia. Erick Fromm, salah seorang tokoh
Psikoanalisis modern, juga memiliki pandangan
evolusionistik. Dia mengemukakan: ”Manusia
telah muncul dari kerajaan binatang, dari
adaptasi dengan instink...dia telah melampui
kondisi alam, meskipun dia tak pernah
meninggalkannya; dia bagian dari itu..manusia
hanya bisa mengembangkan pikirannnya dengan
menemukan harmoni baru.”
Psikologi Islami mempunyai konsep yang lebih
jauh dari itu. Seperti diungkapkan dalam visi
Rumi, bahwa kondisi manusia akan mengalami
proses perubahan terus bahkan menjadi sesuatu
yang berbeda, “.. sesuatu yang tak pernah
terperikan oleh pikiran.” Dengan ungkapan
berbeda Mohammad Shafii menyatakan: “…
evolusi kemanusiaan tidak hanya berakhir sampai
pada bentuk manusia saat ini saja. Ada potensi
(manusia) untuk menjadi mahluk yang lebih
tinggi. Perspektif yang progresif dan memberikan
banyak harapan ini adalah sebuah kekuatan
dinamis…”
Psikologi Kepribadian
Teori psikologi kepribadian telah berkembang
pesat dalam psikologi modern dan memiliki teori
dan konsep yang cukup banyak. Namun teori
yang paling dekat dengan konsep kepribadian
dalam psikologi Islami adalah teori psikoanalisis
atau juga disebut psikodinamik. Teori yang
dikembangkan oleh Sigmund Freud ini merupakan
salah satu teori penting dalam awal
perkembangan psikologi modern. Teori ini
menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia
terdiri dari tiga unsur, yaitu id, ego dan super ego.
Id merupakan dorongan dasar yang menjadi
penggerak dalam kehidupan manusia, yang terdiri
dari berbagai keinginan dan hawa nafsu. Ego ,
atau ’diri’ merupakan dimensi kesadaran rasional
yang merupakan jembatan manusia berhubungan
dengan dunia luar. Ego ini berkembang sejalan
dengan proses perkembangan pikiran (kognitif)
manusia. Sementara itu super ego merupakan
dimensi moralitas yang menjadi pemandu perilaku
manusia. Dalam kehidupan sehari-hari ego
senantiasa menghadapi pertentangan antara
dorongan dasar dari id dan nilai-nilai moral dari
super ego.
Kajian psikologi Islam mengenai struktur
kepribadian dasar manusia banyak berkaitan
dengan konsep nafsu, akal dan hati. Istilah-istilah
tersebut bisa dipadankan dengan id, ego, dan
super ego dalam konsep psikoanalisis. Nafsu
adalah id, akal adalah ego dan hati adalah super
ego.
Nafsu adalah aspek kebinatangan dalam diri
manusia. Para sufi menggambarkan hawa nafsu
sebagai binatang buas, seperti anjing pencuri,
rubah yang licik, kuda liar, bahkan ular atau naga.
Dorongan aspek kebinatangan dalam diri manusia
ini bersifat primitif. Dia seringkali menyusup
dalam setiap perilaku manusia, meski manusia
tersebut sering tidak disadari. Jalaludin Rumi
menggambarkan:
Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala; berhala
benda benda adalah ular, berhala rohani adalah
naga
Menghancurkan berhala itu mudah, mudah sekali;
namun menganggap mudah mengalahkan nafsu
adalah tolol
O, anakku, jika bentuk-bentuk nafsu ingin kau
kenali bacalah tentang neraka dengan tujuh
pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu
muslihat; dan dari setiap ti[pu muslihat seratus
Firaun dan bala tentaranya terjerumus.
Emha ainun Nadjib, seorang penyair sufistik
Indonesia kontemporer menggambarkan nafsu
sebagai keinginan yang tidak pernah terpuaskan.
Dalam syair lagu yang berjudul Tak Sudah-sudah ,
yang dinyanyikan oleh kelompok Kyai Kanjeng
yang dipimpinnya, Emha Ainun Nadjib berkata:
Ketika belum, kepingin sudah
Ketika sudah, kepingin tambah
Sesudah ditambahi, kepingin lagi
Kepingingn lagi...lagi...dan lagi...
Rasa kurang, tak berpenghabisan
Kepada dunia, tak pernah kenyang
Itulah api yang menghanguskan
Itulah nafsu, Lambang kebodohan
Sigmund Freud berpendapat bahwa dorongan
dasar yang paling dominan dalam diri manusia
adalah dorongan seksual dan dorongan agresif.
Dua dorongan inilah yang melatar belakangi
seluruh perilaku manusia. Meskipun tidak dalam
bentuk yang asli, dorongan seksualitas dapat
berubah bentuk (sublimasi) menjadi keinginan
untuk memiliki, keinginan untuk menguasai.
Barangkali inilah yang dikatakan oleh Rumi bahwa
hawa nafsu itu menciptakan tipu muslihat dengan
tujuan agar manusia mengikuti dorongan id dan
melupakan peringata super ego. Kalau Freud
menganggap bahwa banyak perilaku manusia
yang merupakan sublimasi dari dorongan id,
maka Rumi juga mengatakan hal yang mirip
seperti itu. Hanya saja Rumi menggunakan istilah
tipu muslihat. Nafsu sering menipu manusia.
Seringkali manusia melakukan suatu perbuatan
seakan demi menolong orang lain atau demi
kebaikan, tetapi sebenarnya ditunggangi oleh
hawa nafsu. Oleh karena itu manusia harus bisa
mengendalikan hawa nafsu yang menutupi
penglihatan sejati.
Meskipun tidak sesuai semuanya, konsep akal
dalam sufisme bisa disejajarkan dengan konsep
ego dalam psikoanalisis. Seperti akal, ego
berfungsi untuk mengendalikan dorongan id yang
tidak sesuai dengan realitas. Misalnya, id
membutuhkan dorongan seksual, maka ego tidak
mengijinkannya karena kondisi realitas tidak
memungkinan. Kalau id mendesak terus, maka
ego akan terus berusaha mengekangnya karena
ego mendapatkan pesan dari super ego bahwa hal
itu tidak boleh. Disinilah kemudian sering terjadi
pertentangan antara id dan ego. Rumi juga
menggambarkan pertarungan antara nafsu dan
akal dalam metafora:
Dua ekor rajawali dan elang dalam satu
sangkar:mereka saling mencakar...
Dalam setiap desah nafas kita, akal berjuang
melawan godaan nafsu. Keterpisahan dari Asal
Sumber menyebabkan mereka terpuruk
Jika desahan nafas keledai telah kalah, akal akan
menjadi Messiah
Sungguh akal dapat melihat setiap akibat, nafsu
tidak
Akal adalah cahaya yang mencari kebaikan,
Mengapa kegelapan nafsu dapat
mengalahkannya?
Sa’di, seorang sufi dari Persia, menggambarkan
bahwa orang yang dapat mengendalikan hawa
nafsu adalah orang yang mempunyai kekuatan
yang sebenarnya.
orang-orang yang mengendalikan tali kekang
nafsunya dari yang diharamkan berarti
keberaniaannya telah melalui tokoh-tokoh
perkasa seperti Rustam dan Samson. Budak hawa
nafsu adalah musuh yang paling mengerikan
bagimu .
Sa’di juga menggambarkan diri manusia seperti
sebuah kota yang mempunyai unsur kebaikan dan
kejahatan yang selalu bertarung.
Jiwa raga kita bagaiman kota yang mengandung
kebaikan dan kejahatan. Kau adalah rajanya dan
akal adalah menterimu yang bijaksana
...nafsu dan menyia-nyiakan waktu adalah
pencuri dan pencopet
Bila raja mengasihi orang jahat, bagaimana orang
bijaksana bisa merasa tenteram?
Nafsu jahat, iri hati, kebencian bersatu padu
dalam dirimu seperti darah dalam pembuluhnya.
Jika musuh-musuhmu ini memperoleh kekuatan,
mereka akan melawan perintah dan nasehatmu.
Tak akan mereka melawan bila meliaht betapa
kerasnya akal.
Para perampok dan bajingan tak akan berkeliaran
jika patroli polisi memadai
Ketika nafsu menguasai akal atau id mendominasi
ego, maka orang tersebut tidak dapat berpikir dan
bertindak secara rasional. Dia akan
mengembangkan berbagai bentuk mekanisme
pertahanan diri yang kurang sehat untuk
membela diri sendiri. Mekanisme ini timbul ketika
ego merasa terancam. Tujuannya tidak lain
adalah supaya ego merasa aman. Beberapa
mekanisme pertahanan diri antara lain
mekanisme represi, yaitu menekan berbagai hal
yang tidak disukai atau keinginan yang tidak
tersampaikan, ke dalam alam ketidak-sadaran.
Mekanisme penolakan, yaitu menolak mengakui
suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan
harapan. Dalam mekanisme proyeksi, seseorang
melihat sesuatu yang ada di luar dirinya atau
pada orang lain, padahal semua itu ada pada
dirinya sendiri. Jalaludin Rumi menggambarkan
adanya kecenderungan mekanisme proyeksi
tersebut dalam puisi di bawah ini:
O pembaca, berapa banyak kejahatan yang kau
lihat dalam diri orang lain yang tak lain adalah
pantulan dari sifat-sifatmu yang terdapat dalam
diri mereka
Dalam diri mereka tampaklah semua dari dirimu:
kemunafikan, kejahatan dan kesombongan
....
Bila kau telah sampai ke lubuk perigi sifat-sifatmu
sendiri, maka kau akan mengetahui bahwa dosa
apapun terdapat dalam dirimu sendiri.
Mekanisme pertahanan diri yang sehat sangat
dibutuhkan agar seseorang tidak mengalami
keruntuhan pribadi ketika dirinya menghadapi
persoalan. Tetapi ketika mekanisme pertahanan
diri itu terlalu berlebihan, maka orang menjadi
terasing dan semakin jauh dari dirinya. Dia tidak
akan bisa melihat kejelekan dan kelemahan diri
karena semua itu dinisbahkan kepada orang lain.
Maka sebagian besar Sufi sangat menekankan
pentingnya seseorang untuk mengenal dirinya
sendiri, karena orang yang telah mengenal diri
sendiri maka dia akan mengenal Allah. Sunan
Bonang, salah satu sufi dalam wali songo
memberi nasehat kepada muridnya:
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Kemampuan untuk mengenal diri sendiri seperti
yang dikemukakan para sufi di atas juga
ditekankan dalam psikologi modern. Misalnya,
dalam setiap training psikologis yang
dilaksanakan, seorang trainer akan mengawali
dengan permainan ‘ who am I ?’ dengan
menggunakan teknik Jauhari window . Namun
pada umumnya pemahaman diri yang
dikembangkan psikologi modern hanya terbatas
pada aspek sosial-psikologis, belum menyentuh
sisi metafisikal dan transcendental. Akibatnya
sering muncul istilah ‘ psikologi untuk anda’ .
Artinya orang belajar psikologi untuk mempelajari
orang lain, semsntara pengetahuan tentang
dirinya diabaikan. Psikologi Islam semestinya
dapat mengisi kekurangan tersebut.
Selain pengetahuan tentang diri yang sangat
penting, psikologi modern juga perlu memahami
konsep tentang ’hati’ dalam psikologi Islam.
Istilah ini tidak merujuk pada hati secara fisik
atau liver , tetapi hati nurani atau qolbu. Konsep
hati memang ada kemiripan dengan konsep super
ego dalam konsep psikoanalisa. Pada tahap
tertentu memang hati nurani berisi nilai-nilai
moral yang terinternalisasi dalam diri seseorang.
Dalam pemikiran para sufi, makna hati jauh lebih
luas dari itu. Hati inilah yang merupakan pusat
dari segala sesuatu yang terjadi dalam diri
manusia. Dengan mengacu kepada sabda Nabi
Muhammad saw, para Sufi mengatakan bahwa
jika hati baik, maka baik lah seluruh tubuh
manusia. Jika hati jelek maka jelek-lah seluruh
diri manusia. Konsep ini sangat berbeda dengan
konsep psikologi modren, khususnya psikologi
kognitif, yang menganggap bahwa segala sesuatu
dalam diri manusia tergantung bagaimana proses
berpikirnya. Orang-orang yang mengalami
gangguan psikologis dalam pandangan psikologi
kognitif, disebabkan oleh kesalahan atau
kekeliruan dalam proses berpikir. Oleh karena itu
terapi kognitif sangat banyak digunakan dalam
psikologi modern saat ini. Konsep tentang hati
dalam psikologi Islam merupakan sebuah
alternatif pemikiran yang sangat penting untuk
dipertimbangkan.
Keluasan konsep hati dibandingkan dengan
konsep super ego, adalah karena dalam
pandangan para sufi, di dalam hati inilah ruh
manusia bersemayam, dan melalui hati inilah
manusia dapat mencapai pengalaman langsung
berhubungan dengan Allah.
Muhammad Iqbal, seorang penyair sufistik dari
Pakistan menulis:
tempat matahari terbit,
adalah lubuk terdalam hati kita
Sementara itu Jalaludin Rumi, berkata;
Jadi, pasukan manusia berasal dari dunia ruh:
akal adalah menteri dan hati adalah sang raja
Suatu ketika hati ingat negeri ruh. Seluruh
pasukan kembali dan memasuki dunia keabadian
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
meskipun kosep nafsu dalam beberapa puisi sufi
mirip dengan konsep id dalam psikologi modern,
konsep ego mirip dengan konsep akal dan konsep
ego dapat disejajarkan dengan konsep hati, tetapi
semua konsep tersebut memiliki makna yang
lebih luas. Dengan demikian konsep kepribadian
dari psikologi Islam menjangkau dimensi yang
tidak atau belum terjangkau oleh psikologi
modern.
Psikoterapi
Salah satu cabang psikologi yang terus
berkembang sejak munculnya psikologi modern
adalah bidang psikoterapi. Teori psikoanalisis
yang dikembangkan Sigmund Freud tidak hanya
membahas konsep kepribadian manusia, tetapi
juga beberapa teknik psikoterapi, yang sekarang
dimasukkan dalam kategori terapi aliran
psikodinamik, yaitu terapi ini yang menekankan
aspek ketidaksadaran. Terapi aliran humanistik
menekankan aspek hubungan yang baik dengan
sesama manusia. Sementara itu aliran psikoterapi
perilakuan (behavioristik) menekankan aspek
proses belajar. Dikatakan bahwa berbagai bentuk
gangguan jiwa disebabkan adanya kesalahan
dalam proses belajar, sehingga untuk
mengubahnya, orang harus melakukan proses
‘belajar kembali’ ( re-learning ). Teknik
behaviorisme klasik saat ini telah berkembang
menjadi terapi kognitif, yang menyatakan bahwa
berbagai gangguan psikologis adalah disebabkan
karena kesalahan berpikir. Misalnya, seorang
yang mengalami gangguan depresi, ternyata
karena dia terlalu banyak melihat sisi negatif dari
semua peristiwa yang dialami dan mengabaikan
sisi positif. Oleh karena itu untuk menghilangkan
gangguan tersebut dia harus belajar memahami
pengalaman-pengalaman tersebut dengan
menggunakan frame work yang lain.
Sejumlah puisi para sufi memiliki unsur terapis
yang sangat dalam, yang mampu merubah diri
manusia menjadi lebih baik. Ketika orang
menghadapi berbagai masalah, puisi-puisi
tersebut dapat mejadi terapi yang efektif.
Misalnya Jalaludin Rumi memberi nasehat pada
orang yang sedang menghadapi berbagai
permasalahan hidup.
Menjadi manusia adalah menjadi wisma tamu.
Setiap pagi datang dengan tamu yang baru.
Kegembiraan, kesedihan, atau sifat buruk
sedikit pengetahuan diri hadir sebentar
sebagai tamu yang singgah tanpa perjanjian.
Sambut, dan jamulah mereka semuanya!
Biarpun tamumu hanya sekerumunan nestapa
yang melanda rumahmu dengan kasar
dan mengangkut segala isinya,
tetaplah temui setiap tamu dengan mulia.
Bisa jadi ia sedang mengosongkanmu
demi akan datangnya banyak kebahagiaan baru.
Niat buruk, rendah diri, dengki,
sambutlah mereka di pintu dengan tertawa,
dan ajak mereka masuk.
Bersyukurlah
atas apa pun yang diturunkan untukmu,
karena setiap tamu adalah utusan
dari sisi-Nya, sebagai penunjuk jalanmu.
Puisi di atas menggambarkan bagaimana orang
bersikap menghadapi berbagai persoalan
kehidupan: kesedihan, duka nestapa, keruwetan,
atau bahkan kegembiraan dan kesenangan. Rumi
menasehati supaya semua itu diterima dengn
senang hati. Bahkan perlu disyukuri, karena
semua membawa pesan dan hikmah tersendiri.
Penerimaan, bahkan mensyukuri kesulitan yang
dialami, merupakan salah satu teknik psikoterapi
yang banyak disarankan para ahli. Dari perspektif
terapi kognitif, merubah pikiran negatif menjadi
pikiran yang positif dan rasional merupakan
teknik yang banyak diterapkan untuk mengatasi
depresi. Dalam terapi humanistik, menerima
emosi negatif merupakan jalan yang paling baik
untuk mengatasi dampak yang timbul. Bahkan
dalam terapi aliran psikologi positif sekarang
banyak dikembangkan teknik kebersyukuran
( gratitude therapy ). Orang dilatih untuk
mensyukuri dan melihat sisi positif dari semua hal
yang dialami. Dalam puisi yang berjudul Hikmah
Kesengsaraan, Rumi juga memberikan metode
yang sama dengan melihat dampak jangka
panjang dari penderitaan yang dialami.
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-
loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan,
merintih terus-menerus tiada henti,
”Mengapa engkau letakkan api di bawahku?
Engkau membeliku: Mengapa kini kau siksa aku
seperti ini?
Sang isteri memukulnya dnegan penyedok.
”Sekarang,” katanya, ”Jadi benar-benar
matanglah kau dan jangan meloncat lari dari
yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau
membangkitkan kebencian-ku; sebaliknya, inilah
yang membuatmu menjadi lebih lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa
yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Selain aspek psikoterapi secara umum yang dapat
ditemukan dalam puisi Jalaludin Rumi di atas,
konsep psikoterapi Islam dapat ditemukan dalam
lirik puisi yang digubah oleh Sunan Bonang, yang
sangat popular di masyarakat Indonesia, yaitu
dalam lagu Tombo Ati (Obat hati):
Tombo ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindho sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Obat hati ada lima perkara
Yang pertama membaca al Qur’an dan
memahami artinya
Yang kedua sholat malam laksanakanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang-orang
sholeh
Yang keempat perut anda harus dikosongkan
Yang kelima dzikir malam kerjakanlah
Salah satunya siapa yang bisa melaksanakan
Semoga Allah memberkahi
Kajian-kajian ilmiah ternyata banyak memberikan
dukungan pada teknik terapi yang disarankan
oleh Sunan Bonang di atas. Yang pertama,
membaca Al Qur’an merupakan salah satu terapi
religius yang penting. Muhammad Sholeh
mengutip tulisan dari Malik Badri yang
melaporkan hasil penelitian di Florida, Amerika
Serikat. Penelitian itu berhasil membuktikan
bahwa orang yang membaca atau orang yang
mendengarkan bacaan Al Qur’an, ternyata
menunjukkan perubahan emosi seperti penurunan
depresi dan kesedihan, sebaliknya terjadi
peningkatan rasa ketenangan. Selain itu juga
terjadi perubahan-perubahan fisiologis seperti
detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan
kulit yang berpengaruh pada kondisi tubuh
seseorang
Selain membaca Al-Qur'an, membaca puisi
religius juga dapat menjadi terapi efektif. Saloom
mengemukakan bahwa beberapa psikoterapis di
Iran mengajak kepada pasien mereka untuk
membaca puisi karya para sufi, antara lain Rumi,
Sa’di, Hafez, dan Omar Kayyam, khususnya puisi
yang mengandung unsur motivasi dan harapan.
Mereka mengklaim hasil yang positif dari terapi
tersebut.
Aspek terapi sholat telah banyak dibahas oleh
para ahli. Misalnya Sentot Haryanto
mengungkapkan bahwa shalat memiliki aspek
terapi relaksasi dan aspek meditasi yang dapat
menenangkan perasaan. Shalat juga berfungsi
sebagai media katarsis untuk menungkapkan
berbagai persoalan yang mengganggu pikiran.
Selain itu juga memiliki pengaruh sebagai terapi
autosugesti yang dapat mempengaruhi diri secara
positif dan terapi. Sementara itu M.A. Subandi
mengungkapkan berbagai pengalaman yang
ditemui oleh orang-orang yang secara intensif
melaksanakan dzikir, antara lain kesembuhan dari
penyakit fisik maupun dari gangguan psikologis.
Penutup
Artikel ini telah menunjukkan bahwa konsep-
konsep ilmiah dalam psikologi tidak hanya dapat
dikembangkan berdasarkan hasil penelitian
empirik. Berbagai tulisan para tokoh atau para
filsuf dapat menjadi rujukan yang berharga.
Termasuk juga karya sastra para sufi, khususnya
puisi. Karya sastra para sufi, baik yang klasik
maupun modern, mulai dari Persia, Pakistan
sampai Indonesia memiliki unsur psikologis yang
sangat berharga untuk pengembangan psikologi
Islam dan sebagai alternatif pemikiran bagi
psikologi (Barat) modern. Penelusuran lebih jauh
perlu dilakukan untuk mengembangkan satu
bentuk teori atau konsep psikologi
Tulisan ini juga dapat menjadi sebuah model
penelitian kualitatif dalam psikologi (Islam)
dengan menggunakan karya sastra sebagai
sumber data yang utama. Ketika dipadukan
dengan penelitian kuantitatif yang menjadi
mainstream dalam psikologi, akan dapat
menghasilkan psikologi yang lebih utuh. Wallahu a'lam


Lebih Menarik Lagi:

Related Posts



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar