Semua aliran teologi Agama Samawi
sependapat bahwa; Allah Ta’ala berkalam, dengan kalam itu Allah Ta’ala
menyuruh dan melarang hamba-Nya berbuat sesuatu, baik langsung maupun
melalui Rasul-Nya. Mereka tidak berbeda pendapat tentang eksistensi
kalam (wujudiahnya) dan menisbahkan kalam itu kepada Allah Ta’ala.
Mereka berbeda pendapat tentang kuiditas kalam itu (mahiyahnya), apakah
kalam itu aksiden temporal (arad hadits) sebagai sifat kreatif (sifat
kerja) bagi Allah Ta’ala ? atau kalam itu substansi external
(maujud qadim) sebagai sifat Zat Allah Ta’ala .
Kuiditas (Mahiyat) Kalam.
Aliran
teologi Islam, tidak sependapat tentang kuiditas kalam (mahiyat kalam),
sehingga mengakibatkan berbeda pendapat mereka terhadap
kemestian-kemestian dari kuiditas kalam yang berbeda–beda itu.
Disebabkan kesamaran tentang kuiditas kalam, maka tidak jarang timbul
kekeliruan dalam memahami teori–teori Ahlus-Sunnah mengenai kalam
sebagai salah satu sifat Allah Ta’ala . agar terhindar dari kesamaran
yang mengakibatkan kekeliruan itu, penulis mencoba menguraikan kuiditas
kalam menurut teori aliran teologi Islam sebagai berikut ;
Jumhur Ahlissunnah menyatakan ;
قَـالَ
السَّـنُـوْسِىُ : كَـلاَمُ اللهِ بِـذَاتِـهِ هُـوَ صِـفَـةٌ
أَزَلِـيَّـةٌ لَـيْـسَ بِحَـرْفٍ وَلاَ صَـوْتٍ وَلاَ يَـقْبَلُ
الْعَـدَمَ وَمَـا فِـى مَـعْـنَـاهُ مِنَ السُّـكُوْتِ وَلاَ
التَّـبْـعِـيْـضِ وَلاَ التَّـقَـدُّمِ وَلاَ التَّـنَـافُـرِ ( ام
الـبـراهـيـن ١٧٢ )
Menurut Imam as-Sanusi Kalam
Allah Ta’ala yang bersubstansi zat-Nya ialah; suatu sifat external yang
tidak berbentuk huruf, tidak berbentuk suara, tidak pernah mengalami
tiada, tidak yang semakna dengan tiada seperti diam, tidak terbagi-bagi,
tidak terdahulu dan tidak terkemudian
Definisi
ini memastikan bahwa; kalam itu bukan aksiden temporal (aradl hadits)
sebagai sifat kreatif ( berbicara ), tetapi ia adalah sifat external
bagi zat yang tidak pernah mengalami tiada baik pada permulaan, pada
pertengahan maupun pada kesudahan (azali lagi abadi ). Maka kalam itu
bukan bicara, tetapi ia adalah sifat zat yang senantiasa, ia bukan jenis
suara yang terdiri dari huruf-huruf, karena suara yang demikian
memastikan adanya prior dan posterior (taqaddum dan ta’akhur pada
wujudnya ). Demikian juga taklim yang Iafirmasikan kepada Allah Ta’ala
bukan berbicara karena berbicara itu didahului oleh tiada ( temporal )
yakni memulai yang sebelumnya tiada. Tetapi تـكـليمtaklim itu ialah
memberikan kesanggupan kepada seseorang mendengar kalam yang bukan dari
jenis suara itu.
Maka arti وكـلم
الله موسى تكـلـيما menurut jumhur Ahlis-Sunnah ialah; Allah Ta’ala
memberikan kesanggupan kepada nabi Musa untuk mendengar kalam Qadim yang
bukan jenis suara itu; sehingga nabi Musa mendengar kalam itu dan dapat
membaca maknanya yang mereka istilahkan dengan kalam nafsi.
Namun
Abu Mansur Al Maturidi dari kalangan jumhur berpendapat bahwa; kalam
qodim itu tidak termasuk objek sasaran pendengar karena ia bukan jenis
suara. Maka arti :
وكـلـم الله
مـوسى تـكـلـيـمـا menurut beliau ialah; Allah Ta’ala mengibaratkan /
menjelmakan kalam qodim itu dengan bentuk suara, sehingga nabi Musa
dapat mendengarnya. Apa yang ditunjuki oleh kalam yang didengar oleh
nabi Musa persis sama dengan apa yang ditunjuki; oleh kalam Qodim yang
tidak dapat didengarnya itu.
Lebih Menarik Lagi: